Musabaqah dalam Beramal

Umar bin Khathab radhiallahu anhu  meriwayatkan, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memerintahkan kami untuk bersedekah, dan ketika itu bertepatan saya sedang memiliki banyak harta. Maka saya bergumam, “Jika memang aku bisa mengungguli Abu Bakar, inilah saatnya.” Beliau melanjutkan ceritanya, “Maka saya datang dengan membawa separuh dari hartaku, lalu ketika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bertanya, “Apa yang kamu tinggalkan untuk keluargamu?” Saya menjawab, “Sama dengan apa yang aku bawa.” Lalu datanglah Abu Bakar dengan membawa semua harta yang beliau punya, lalu Nabi shallallahu alaihi wasallam bertanya, “Wahai Abu Bakar, apa yang kamu tingalkan untuk keluargamu?” Beliau menjawab, “Aku tinggalkan untuk mereka Allah dan Rasul-Nya.” Maka saya katakan, “Memang saya tidak pernah mampu mengalahkan Abu Bakar.”

Dari Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ada sejumlah orang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, orang-orang kaya telah pergi dengan membawa pahala yang banyak, mereka shalat sebagaimana kami shalat, mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, dan mereka bersedekah dengan kelebihan harta mereka.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukankah Allah telah menjadikan bagi kalian jalan untuk bersedekah? Sesungguhnya setiap tasbih merupakan sedekah, setiap takbir merupakan sedekah, setiap tahmid merupakan sedekah, setiap tahlil merupakan sedekah, mengajak pada kebaikan (makruf) adalah sedekah, melarang dari kemungkaran adalah sedekah, dan berhubungan intim dengan istri kalian adalah sedekah.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana bisa salah seorang di antara kami melampiaskan syahwatnya lalu mendapatkan pahala di dalamnya? Beliau bersabda, “Bagaimana pendapat kalian seandainya hal tersebut disalurkan di jalan yang haram, bukankah akan mendapatkan dosa? Demikianlah halnya jiak hal tersebut diletakkan pada jalan yang halal, maka ia mendapatkan pahala.” (HR. Muslim) [HR. Muslim, no. 1006]

Dua hal tersebut di atas memberitahukan kepada kita bahwa di antara para sahabat musabaqah atau berlomba dalam beramal itu sering terjadi. Satu dengan yang lain tak ingin diungguli dalam beramal maka selayaknya kita dalam urusan akhirat pun saling berlomba.

"Fastabiqul khairaat,” berlombalah dalam kebaikan syiar yang sering diucapkan dan didengar tapi efek yang ditimbulkan dari ajakan itu kurang membekas.

Ibnu Rajab al-Hambali menjelaskan dalam Latha’iful Ma’arif bahwa ketika mereka mendengar firman Allah Azza wa Jalla, “fastabiqul Khairaat” mereka memahami bahwa maksudnya agar masing-masing orang bersungguh-sungguh usahanya untuk menjadi pemenang bagi yang lain dalam kemuliaan. 

Sehingga ketika ada orang lain yang mampu beramal yang tidak ia mampu ia khawatir orang lain akan menang atas dirinya. 

Mereka berlomba meraih ketinggian derajat akhirat dan saling berusaha mengungguli satu sama lain untuk menggapainya.

Perlombaan dan persaingan itu dalam hal mengejar sesuatu yang berharga dan utama. Karena itulah, setelah menyebut berbagai kenikmatan jannah Allah berfirman,

 وَفِي ذَلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُونَ

“Dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba.” (QS. Al-Muthaffifin: 26)

Imam Ath-Thabari menyebutkan sifat berlomba dalam urusan akhirat merupakan sifat puncak dan tertinggi dari orang-orang yang berbakti. Beliau menjelaskan, “Dan untuk meraih kenikmatan yang dicapai oleh orang-orang yang berbakti hendaklah manusia berlomba-lomba. Dan berlomba tentunya dalam hal-hal yang bernilai dan berharga, bukan dalam urusan yang sepele dan remeh temeh. Dan itulah asal arti kata “Al-Munafasah” yang berasal dari kata “nafis” yaitu hal yang bernilai dan berharga dan sangat menarik untuk diperebutkan manusia. Maka untuk kenikmatan yang tidak terhingga tersebut manusia sepatutnya tidak boleh mengalah dan harus berusaha lebih baik dan lebih dahulu dari orang lain.

Al-Alusi rahimahullah menambahkan, didahulukannya objek, “Dan untuk yang demikian itu” atas perintah berlomba-lomba adalah untuk menarik perhatian atau sebagai batasan bahwa hanya untuk urusan akhirat hendaknya orang-orang itu berlomba-lomba, tidak untuk urusan yang lainnya.”

Adanya perintah berlomba dalam kebaikan sekaligus untuk mengalihkan fokus kebanyakan manusia yang lebih suka berlomba-lomba dalam kemaksiatan dan kemegahan dunia.

Padahal kecenderungan ini bisa menyebabkan manusia lalai dari tujuan hidup, melestarikan hasad dan abai terhadap batasan halal dan haram. Inilah yang dikhawatirkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam terjadi atas umatnya. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,


فَوَاللَّهِ مَا الْفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ ، وَلَكِنِّى أَخْشَى أَنْ تُبْسَطَ عَلَيْكُمُ الدُّنْيَا كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ قَبْلَكُمْ ، فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا ، وَتُهْلِكَكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُمْ

“Demi Allah, bukanlah kefakiran yang aku khawatirkan terjadi atas kalian, tetapi aku khawatir jika dunia dibentangkan luas atas kalian, kemudian karenanya kalian berlomba-lomba untuk meraihnya sepertimana orang-orang sebelum kalian saling berlomba. Maka akhirnya kalian binasa karenanya sebagaimana mereka juga binasa karenanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hasan al-Bashri berkata, “Jika Anda melihat ada orang yang mengungguli Anda dalam hal dunia, maka unggulilah ia dalam perkara akhirat.”

Karena untuk mengungguli orang lain dalam hal akhirat cukup dengan potensi yang kita miliki lalu memanfaatkannya untuk sebanyak dan sebagus mungkin amal ketaatan.


About Al Inshof

Al Inshof adalah blog yang memberikan kejernihan dalam menimbang hidup. Islam adalah agama tengah tengah. Tidak berlebih lebihan namun juga tidak menyepelekan.

0 Comments :

Posting Komentar