Berkata Hasan al Bashri, "Jika kalian menemukan, carilah kenikmatan dalam tiga hal; shalat, dzikir dan nembaca al-Qur'an. Jika idak, maka pintu sudah tertutup."
Ghaflah (lalai) dari Allah dan kematian adalah salah satu penyebab terbesar munculnya sejumlah maksiat. Jika tambah hawa nafsu dan kebodohan, maka lengkaplah sumber kehancuran manusia di dunia ini. Karena dzikir (ingat) kepada Allah akan membingkai kesadaran akan tujuan hidup, resiko pilihan amal, terbatasnya waktu, dan arah kembali. Inilah muhasabah yang sebenarnya entangnya Al Harits al-Muhasibi berkata, "Ia adala engetahuan hati terhadap dekatnya Allah."
Lalai adalah keadaan meninggalkan sesuatu karen kemauan dan ada unsur kesengajaan. Sedang lupa adala tanpa kesengajaan. Allah berfirman, "Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai." (QS. al-A'raf: 205) Firman ini tidak berbunyi yang lupa, sebab syariat tidak membebani orang yang lupa. Karena sifat lupa memang tidak terlaran adapun dzikir adalah upaya berlepas diri dari keduanya
Bermula dari ilmu
Sebab lalai adalah tabir penutup yang menyelubungi hati sehingga gagal berkomunikasi dengan Allah, maka dzikir ibarat gerbang penghubung antara hati hamba dengan Khaliqnya. Ia adalah buah dari makrifah dan tazkiyah an-nafs yang sempurna.
Dzikir bermula dari ilmu. Sebab tanpa ilmu, manusia akan gagal mengenali sejumlah pengetahuan yang harus dimilikinya dalam kehidupan. Baik dalam masalah akidah, ibadah, muamalah maupun akhlakul karimah. Mana yang wajib dan sunnah, mana yang haram dan makruh. Kebodohan seperti ini akan menyulitkan manusia menjalani hidup, karena gagal mementukan pilihan yang tepat.
Karena itu, majelis ilmu termasuk majelis dzikir, sebab ilmu memandu kita menuju jannah. Allah juga mengabarkan bahwa tidak sama antara hamba yang berilmu dengan manusia yang bodoh. Allah berfirman, "Katakanlah, Adakah orang-orang yang mengetahui sama dengan orang-orang yang tidak mengetahui?"" (QS. az-Zumar: 9)
Imam Atha' berkata, "Majelis dzikir adalah majelis yang mengkaji masalah halal dan haram, bagaimana engkau berbelanja, menjual, shalat, puasa, menikah dan lain-lain."
Tak Sekedar Ucapan
Dzikir bukanlah semata-mata aktifitas lisan, tanpa berusaha menghadirkan kesadaran hati dan tindakan nyata. Sebab rangkaian tasbih, tahlil, tahmid, takbir dan yang semacamnya, bisa saja meluncur dari lisan tanpa hadirnya hati dan dalam kelalaian kepada Allah. Ia hanyalah kumpulan kalimat yang terlanjur dihafal lisan. Karena itu, setiap tindakan yang mengarah kepada ketaatan kepada Allah itulah sesungguhnya dzikir. Seluruh hal dan keadaan yang mampu mengingatkan manusia akan Allah. Imam An Nawawi mengatakan, bahwa dzikir bisa dilakukan dengan hati ataupun dengan lisan. Dan dzikir yang lebih utama adalah gabungan antara hati dan lisan sekaligus
Dzikirnya lisan adalah dengan memuji Allah menghadirkan kebesaran-Nya di dalam hati dengan membaca sejumlah kalimat yang ma'tsur. Di dalam hadits Qudsi Allah berfirman, "Aku selalu bersama hamba-Ku selama dia mengingat-Ku, dan bibirnya senantiasa bergerak karena (menyebut)-Ku." (HR. Ahmad)
Hal ini harus senantiasa kita upayakan dalam hidup kita, bahkan hingga saat kematian menjemput. Karena ia adalah amalan yang paling dicintai Allah. Muadz bin Jabal berkata, "Amalan yang paling dicintai di sisi Allah adalah; Engkau hendak meninggal dunia, sementara lisanmu basah dengan dzikir kepada Nya."
Hadirnya Hati
Dalam semua halnya, hamba yang selalu terhubung dengan Allah adalah baik adanya. Hamba yang tidak putus-putus berdzikir dalam semua keadaannya, baik dengan hati maupun dengan lisannya. Allah berfirman, "(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri. duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), "Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini semua sia-sia. Mahasuci Engkau maka peliharalah kami dari api neraka!" (QS. Ali Imraan: 191) Berkata Imam Qatadah, "Inilah semua keadaan kalian wahai anak Adam. Ingatlah Allah dalam keadaan berdiri! Apabila kalian tidak mampu, dalam keadaan duduk. Apabila kalian tidak mampu dengan berbaring. Maka yang demikian itu adalah merupakan kemudahan dan keringanan dari Allah. Substansi dzikirnya hati bermuara pada tumbuhnya perasaan khauf (takut) dan raja' (berharap). Hasil dari tafakur (merenungan) tentang bukti-bukti dzat dan sfat-sifat Allah melalui ciptaan-Nya di alam ini dan juga melalui ayat-ayat al-Qur'an. Juga bukn-bukti taklif berupa perintah dan larang, sehingga bisa mengetahui hukum-hukum syariar dan alam (sunatullah), serta rahasia rahasia makhluk Allah.
Dzikir yang berujung kepada tafakur inilah anugerah tak terhingga dari Allah kepada hamba-hamba-Nya. Nabi Isa erkara, "Berbahagialah hamba yang lisannya selalu berdzikir, diamnya selalu berfikir, dan pandangannya mempunyai ibrah." Sebab Allahl berfirman dalam hadits Qudsi, “Apabila seorang hamba menyebut-Ku di dalam jiwanya, maka Aku akan menyebutnya di dalam jiwa-Ku (HR. Bukhari dan Muslim)
Juga Amal Shalih
Menurut Ibnu Rajab, makna dzikir kepala Allah dan tidak melupakanNya ialah; sering hamba dengan hatinya senantiasa ingat perintah-perintah Allah dalam seluruh gerak dan diamnya, kemudian mengerjakannya. Dan ingat larangan-larangan-Nya dalam seluruh gerak dan diamnya, kemudian menjauhinya. Sementara Ibnu Hajar dalam al Fath berkata, "Dimutlakkan dan dimaksudkan dengan dzikir itu adalah berkeinginan keras untuk mengerjakan apa yang diwajibkan dan disunnahkan".
Karena itu, dzikir juga meliputi aktifitas anggota badan yang lain. Dan itu dengan mengerjakan ketaatan. Dzikirnya tangan dengan memberi dan seluruh kebaikan dengan tangan sebagai sarananya. Dzikimnya kaki dengan melangkah menuju tempat tempat kebaikan. Dzikirnya mata dengan memandang hal hal yang baik dan mendatangkan ibrah. Dan hal lain yang semisalnya.
Umar bin Khathab menyinggung tentang kondisi diam tanpa amal shalih dengan berkata, "Bagi laki laki, diam itu adalah kelalaian. Sedangkan bagi perempuan adalah nafsu yang membara".
Dalam hal ini, kuncinya adalah peneladanan Rasulullah dalam kehidupan kita. Sebab beliaulah hamba yang paling bersyukur, paling bertakwa dan paling bersih hatinya. Allah berfirman, "Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan kepada yang baik bagi kalian. Yaitu bagi orang yang, mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak berdzikir kepada Allah." (QS. al-Ahzab: 21)
Ambil Kesempatan
Maka marilah bergegas untuk memulai aktifitas dzikir dalam arti sesungguhnya. Tentunya juga diimbangi dengan meninggalkan maksiat, sebab maksiat itu hakikatnya bukti kita sedang lalai kepada Allah . Sa'id bin Jubair berkata, "Dzikir itu adalah taat orang kepada Allah. Maka barangsiapa mentaati ingat Nya, berarti telah berdzikir (mengingat-Nya). Dan barangsiapa yang bermaksiat kepada-Nya, nnya. maka tidaklah dia termasuk hamba yang berdzikir, meski banyak bertasbih dan tilawah (al-Qur'an)."
Surga adalah kebun, sedang dzikir adalah tanamannya. Berdzikir adalah menanam pohon di tanah subur bebas dari gulma dan predator pengganggu. Maka tidak akan pernah menyesal, hamba yang menyibukkan dirinya dengan berdzikir kepada Allah. Shahabat Muadz bin Jabal berkata, "Penduduk surga tidak menyesali sesuatu, kecuali waktu yang berlalu pada mereka tanpa berdzikir kepada Allah di dalamnya."
Semoga kita termasuk hamba-hamba yang senantiasa berdzikir kepada Allah. Di manapun dan kapanpun! Wallahul Musta'an. (Sumber: Majalah Ar Risalah)
0 Comments :
Posting Komentar