Hukum Transaksi Benda Najis

 


Ibnu Rusyd menegaskan, dalam nash nash syar'i yang menyebutkan larangan larangan transaksi jual beli, didapati ada empat hal yang merusak transaksi sehingga transaksi dilarang. Di antaranya adalah karena zatnya.

Keharaman transaksi jual beli yang berkaitan karena zat objeknya dapat diklasifikasikan menjadi dua. Pertama, karena barangnya najis. Kedua, karena barangnya tercampur dengan najis. 

MEMAKNAI BENDA NAJIS

Secara bahasa najis berarti kotor. Dan secara istilah, sebagaimana disebutkan oleh ulama Syafi'iyah, najis adalah sesuatu yang dianggap kotor dan dapat mencegah keabsahan shalat sekiranya tidak ada rukhsah yang menyertainya. (Al-Iqna', 1/122)

Sedangkan ulama mazhab Hanbali mendefinisikannya dengan 'Tiap benda, cair atau padat yang dilarang secara syar'i yang tidak dalam kondisi darurat. Bukan karena merusak diri, atau melanggar hak Allah atau alasan lain secara syar'i (Syarh Muntaha al- Iradat, 1/152)

Dua definisi di atas memiliki sudut pandang yang berbeda. Definisi pertama menganggap bahwa alasan najisnya benda terletak pada kotornya. Kotor yang dimaksud di sini adalah kotor secara syari. Sedangkan ang kedua, menganggap bahwa alasan najisnya benda adalah karena diharamkan secara mutlak oleh syariat

Menanggapi keterkaitan antara keharaman dan najisnya barang Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa setiap yang najis itu haram untuk dimakan, namun tidak setiap yang haram dimakan itu najis. (Majimu Fatawa, 21/6)

Dari penuturan Ibnu Taimiyah tersebut. Dapat dipahami bahwa tidak setiap yang diharamkan itu najis, tapi yag najis itu pasti haram, Artinya keharaman yang diberlakukan oleh syariat, khususnya pada barang najis, karena ada mudarat yang terkandung di dalamnya. Bukan semata karena barang itu najis.

LANDASAN SYAR'I

Dalil yang mendasari keharaman barang yang najis, di antaranya adalah riwayat dari Jabir bin Abdullah saat di Makkah pernah mendengar Rasulullah bersabda tatkala Fathu Makkah,:

"Sesungguhnya Allah mengharamkan jual beli khamr (minuman keras), bangkai, babi, dan berhala. Kemudian seseorang bertanya: "Bagaimana dengan lemak bangkai, karena banyak yang menggunakannya sebagai pelapis perahu meminyaki kulit, dan untuk bahan bakar lampu? "Rasulullah menjawab: Tidak boleh, semua itu adalah haram, lantas Rasulullah bersabda saat itu juga, "semoga Allah membinasakan orang-orang Yahudi. Tatkala Allah mengharamkan atas mereka lemak bangkai. Mereka mengolahnya kemudian menjual dan memakan hasil penjualannya." (HR. Al-Bukhari No. 2236; Muslim No. 1581)

Bertolak dari hadits ini Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa benda najis ada dua kategori. Pertama, yang disepakati najisnya oleh para ulama fikih. Seperti khamr, bangkai, dan babi. Dan kedua, benda najis kegunaannya sangat dibutuhkan seperti kotoran yang digunakan untuk pupuk tanaman di kebun.

Tentang khamr ada sebagian yang berpendapat bahwa khamr itu tidak najis. Jumhur ulama fikih berpendapat bahwa khamr itu najis seperti halnya air seni dan darah. Sebab disebut dalam nash dengan rijsun. Dan Imam Nawawi menegaskan bahwa ini adalah ijma sebagaimana dikutip dari Abu Hamid (Al (2/564 , Majmu

Termaktub dalam al-Quran,

"Hal orang-orang yang beriman,  sesungguhnya minuman khamr, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan panah adalah termasuk rijsun...." (QS. Al-Maidah: 90).

Rijsun secara bahasa artinya kotoran dan (daging busuk (Misbahul Mani

Sedangkan sebagian ulama fikih seperti Rabiah dari mazhab Maliki, ash-Shan'ani dan asy-Syaukani berpendapat khamr itu suci. Berpegang pada hukum asal, dan memaknal rijsun dalam ayat sebagai kotoran yang bersifat maknawi. (Raddul Muhtar, 5/289)

Berikutnya tentang bangkai, para ulama fikih dari empat mazhab sepakat bahwa bangkai itu zatnya najis. Ar-Razi menyebutkan bahwa ini adalah ijmak para ulama (Mafatihul Ghaib,5/19). Dan secara tegas serta jelas Allah mengharamkannya, "Diharamkan bagimu (memakan) bangkai. (QS. Al-Maidah: 3)

Adapun keharaman dan najisnya babi, telah disepakati oleh para ulama fikih. Zatnya najis berikut dengan bagian-bagian kecilnya (Fathul Qadir, 1/82; Nihayatul Muhtaj,1/19). Hal ini didasari oleh firman Allah di antaranya adalah,

"Katakanlah: Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi." (QS. Al-An'am: 145).

Di sisi lain, diantara benda najis yang banyak dibutuhkan adalah kotoran hewan untuk pupuk kandang. Jual-beli kotoran yang digunakan untuk pupuk tanaman merupakan kebutuhan yang dibolehkan oleh para ulama fikih. Ini termasuk bagian pengecualian kaidah umum larangan mentransaksikan benda najis. Sebab kebutuhan menempati posisi darurat

Ada sebagian ulama fikih yang tidak menamainya dengan jual beli, tapi menggugurkan hak kepemilikan. Dan hal tersebut dibolehkan. Ini adalah pendapat kalangan Syafi'iyah (Hasyiyah al-Bajuri,1/441).  Hal ini juga disepakati oleh ulama Hanafiyah, mereka menyatakan tidak dimakruhkan jual beli kotoran hewan untuk digunakan sebagai pupuk tanaman. (Raddul Muhtar, 5/246)

Sedangkan mazhab Hanbali, sebagaimana diungkapkan oleh Ibnu Qudamah, berpendapat tidak boleh memperjual belikan kotoran, karena para ulama sudah ijmak akan keharamannya (Al-Mughni, 4/192)

Pendapat yang lebih mendekati kebenaran adalah bolehnya jual-beli kotoran hewan untuk pupuk tanaman. Sebagaimana diungkapkan oleh para ulama Qatar.

YANG TERKENA NAJIS

Untuk kasus ini, dapat diambil contoh pada hewan jalalah. Ulama madzab Hambali berpendapat hewan jalalah haram dikonsumsi, maka tidak halal juga hasil penjualannya. Sebab tercemar oleh benda najis (Al-mughni, 13/328) 

Mereka berdalih dengan hadits Nabi yang diriwayatkan dari Ibnu Umar,

نهى رسول الله ، عن أكل الجلالة، وألبانها 

"Rosulullah meforang mengkonsumsi hewan jalalah dan susunya" (HR. Tirmizi Ner 1824)

Hadits ini ditanggapi oleh kalangan Hanafiyah dan Syafi'iyah-yang menyatakan kehalalan hewan jalalah, larangan dalam hadits perihal memakan dan minum susu jalalah lebih karena perubahan wujudnya. Bukan karena tercemar najis. Maka larangan tersebut hukumnya adalah makruh. Dan lebih baik hewan tersebut dikarantina. Dengan hilangnya sifat najis yang memengaruhi hewan jalalah, menjadikan hewan tersebut kembali ke hukum asalnya. (Al-Majmu,9/20.29)

Bertolak dari pembahasan ini, meskipun para ulama fikih tidak sepakat akan keharaman hewan jalalah. Yang pasti bahwa hewan jalalah bisa berubah statusnya ketika sudah steril

Oleh sebab itu, hal ini berlaku juga untuk benda lain yang terkena najis. Dr. Wähbah az-Zuhaili menyatakan, Jumhur ulama fikih berpendapat, benda yang terkena najis dan tidak mungkin dibersihkan seperti minyak, keju, madu,dan semisalnya. Tidak sah diperjual belikan. Kecuali jika dapat disterilkan atau disucikan dari najis (Al-Wajiz fil fiqh al-islami, 2/41). Wallahu a'lam. [sumber: Majalah Hujjah]

About admin

Al Inshof adalah blog yang memberikan kejernihan dalam menimbang hidup. Islam adalah agama tengah tengah. Tidak berlebih lebihan namun juga tidak menyepelekan.

0 Comments :

Posting Komentar