Muhammad bin Sirin, Tabi’in Yang Utama | Bagian 3

Kerendahan Hati

Muhammad bin sirin adalah seseorang yang dikenal memiliki kemampuan menafsirkan mimpi. Suatu hari Ma’mar berkata, “Ada seseorang yang datang menemui Ibnu Sirin. Ia berkata, ‘Aku melihat dalam mimpiku ada seekor merpati memakan mutiara. Keluarlah dari merpati itu sesuatu yang lebih besar dari apa yang dia makan. Aku lihat merpati lain yang juga memakan Mutiara. Kemudian keluar sesuatu yang lebih kecil dari apa yang dia makan. Setelah itu, kulihat merpati lain memakan Mutiara. Kemudian keluar darinya sesuatu yang sama besarnya dengan yang ia makan.” Muhammad bin Sirin berkata, “Yang pertama, itu adalah al-Hasan. Ia mendengar hadits dan ia perbagus pengucapannya. Kemudian ia dapatkan hikmah-hikmahnya. Adapun yang kecil, itu adalah aku. Aku mendengar hadits, namun aku lupa hadits tersebut. Adapun yang keluar sama dengan yang masuk, itu adalah Qatadah. Ia adalah orang yang paling kuat hafalannya.” (Khalid ar-Ribath/Sayid Azat Id: al-Jami’ li Ulumi al-Imam Ahmad, 18/469).

Mimpi Ma’mar ini ditafsirkan oleh Muhammad bin Sirin dengan bagaimana para pewarta (perawi) hadits tatkala menerima hadits. Di antara nama yang beliau sebutkan adalah al-Hasan al-Bashri, Qatadah bin Di’amah as-Sadusi, dan beliau sendiri. Yang paling terbaik dalam menerima hadits adalah al-Hasan. Ia hafal teksnya secara utuh. Dan mampu memahami kandungannya dengan baik. Sementara Qatadah di bawah al-Hasan. Dan ia sendiri menyatakan bahwa dua tabi’in tersebut lebih baik darinya.

Berbakti Pada Ibu

Diriwayatkan dari Muhammad bin Sirin sendiri bahwa setiap ibunya memandang dan berbicara dengannya, pasti ia menunduk dan merendah pada ibunya (Ismail al-Ashbahani: Siyar as-Salaf ash-Shalih. Hal: 923).

Hisyam bin Hasan berkata, Hafshah binti Sirin (saudari Muhammad) berkata, “Ibu Muhammad bin Sirin adalah ibu Muhammad al-Hijaziyah. Sang ibu sangat suka dengan pakaian yang diwantek. Apabila Muhammad bin Sirin membeli pakaian, ia akan belikan pakaian terbaik untuk ibunya. Saat tiba hari Id, ia wantek pakaian itu. Aku tak pernah melihatnya meninggikan suara kepada ibu. Saat ia bicara dengannya, ia bicara penuh dengan kelembutan.” (Ibnu Asakir: Tarikh Dimasyq, 53/216).

Diriwayatkan, apabila Muhammad bin Sirin bersama ibunya dan orang yang tak mengenalnya melihat hal itu, pastilah orang orang itu menyangka dia sedang sakit. Karena ia menundukkan suaranya saat berbicara dengan sang ibu.” (Ibnu Saad: ath-Thabaqat al-Kubra, 7/148).

Wara’ (Menjauhi Yang Haram dan Syubhat)

Wara’ secara sederhana berarti meninggalkan perkara haram dan syubhat, itu asalnya. Para ulama seringkali memaksudkan wara’ dalam hal meninggalkan perkara syubhat dan perkara mubah yang berlebih-lebihan, juga meninggalkan perkara yang masih samar hukumnya.

Dari Bakr bin Abdullah al-Mazini, ia berkata, “Siapa yang senang melihat orang yang paling wara’ di zamannya, maka lihatlah Muhammad bin Sirin. Demi Allah, kami tidak menemui orang yang lebih wara’ melebihi dirinya.” (al-Ka’bi: Qubul al-Akhbar wa Ma’rifati ar-Rijal, 1/213).

Dari Ashim al-Ahul, ia mendengar Muriqan al-Ujli berkata, “Aku tak pernah melihat seorang yang paling paham tentang wara’ dan paling wara’ dalam fikihnya melebih Muhammad bin Sirin.” (al-Khatib al-Baghdadi: Tarikh Baghdad, 3/283).

Dari Hammad bin Zaid, dari Utsman al-Buti, ia berkata, “Tidak ada seorang pun di Kota Bashrah yang paling berilmu tentang hukum melebihi Ibnu Sirin.” (Adz-Dzahabi: Siyar A’lam an-Nubala, 4/608).

Asy’ats berkata, “Apabila Muhammad bin Sirin ditanya tentang perkara halal dan haram, rona wajahnya berubah. Sampai orang-orang berkata, ‘Seakan-akan itu bukan dia’.” (Adz-Dzahabi: Tarikh al-Islam, 3/153).

Ketika orang mendesaknya untuk memutuskan hukum suatu permasalahan, apakah halal, haram, mubah, atau makruh, ia tidak senang dengan hal itu. Karena ia tidak bermudah-mudahan dalam berfatwa.

Hisyam bin Hasan, “Suatu hari Muhammad bin Sirin tampak murung dan bersedih. Ada yang bertanya, ‘Mengapa murung seperti ini, Abu Bakr (kun-yah Ibnu Sirin)?’ Ia menjawab, ‘Kesedihan ini dikarenakan dosa yang kulakukan 40 tahun yang lalu’.” (Ibnu Asakir: Tarikh Dimasyq, 53/226).

Dari ucapan Ibnu Sirin ini, kita mengetahui dari mana datangnya perasaan sedih dan gundah yang sering kita alami. Itu adalah buah pahit dari dosa yang telah kita lakukan. Bedanya adalah kita tidak mengetahui gundah tersebut akibat dosa yang mana. Karena terlalu banyak kita melakukan perbuatan dosa. Kita tak mampu menunjuk dari dosa mana kesedihan itu berasal. Sedangkan Muhammad bin Sirin, ia bisa tahu gundah itu berasal dari dosa yang mana. Karena sedikitnya perbuatan dosa yang ia lakukan, masyaallah… Seperti halnya Nabi Ibrahim, ia mampu mengingat jumlah kebohongannya. Karena beliau sedikit sekali berbohong. Sementara kita tak bisa menghitung lagi berapa jumlah kebohongan kita. Karena terlalu banyak untuk diingat.

Muhammad bin Sirin berkata, “Sungguh aku tahu dosa mana yang membuatku memiliki utang. 40 tahun yang lalu aku pernah berkata pada seseorang, ‘Hai orang yang bangkrut’.” (Ibnu Asakir: Tarikh Dimasyq, 43/545-546). Ucapan ini serupa dengan riwayat sebelumnya. Menunjukkan betapa beliau sedikit berbicara. Kalaupun berbicara, ia jaga lisannya sehingga sedikit terjatuh dalam salah ucapan.

Sufyan bin Uyainah rahimahullah berkata, “Tidak ada orang Kufah atau Bashrah yang memiliki sifat wara’ semisal Muhammad bin Sirin.” (Adz-Dzahabi: Siyar A’lam an-Nubala, 4/610).

Ibnu Syubrimah berkata, “Aku berjumpa dengan Muhammad bin Sirin di Wasath. Aku tak pernah melihat seorang yang ‘pelit’ dalam fatwa dan paling mampu menafsir mimpi melebihi dirinya.” (Adz-Dzahabi: Siyar A’lam an-Nubala, 4/614). Ini menunjukkan kehati-hatiannya dalam menjawab permasalahan agama. Walaupun ia seorang ulama yang diakui keilmuannya.

Yunus bin Ubaid berkata, “Apabila Muhammad bin Sirin dihadapkan pada dua perkara tentang jaminan/perjanjian, pastilah ia ambil salah satu yang paling yakin ia mampu tunaikan.” (Adz-Dzahabi: Siyar A’lam an-Nubala, 4/614).

Hisyam berkata, “Aku tak pernah melihat seseorang yang paling teguh pendiriannya di hadapan penguasa melebihi Ibnu Sirin.” (Adz-Dzahabi: Tarikh al-Islam, 3/155).

Teguh pendirian di hadapan penguasa tidaklah mudah. Kita sendiri saja sering goyah ketika berhadapan dengan teman kita. Teman kita meminta suatu hal, padahal urusan tersebut menimbulkan dosa, tapi karena merasa tidak enak, kita pun melakukannya. Banyak orang yang tahu hukum jabat tangan dengan non mahram itu haram, tapi karena tidak enak beda sendiri, ia pun jabat tangan non mahram tersebut. Baru diuji dengan teman saja kita sudah tak mampu mempertahankan prinsip. Apalagi diuji berhadapan dengan penguasa. Wallahul musta’an.

Bersambung ke bagian terakhir

About Al Inshof

Al Inshof adalah blog yang memberikan kejernihan dalam menimbang hidup. Islam adalah agama tengah tengah. Tidak berlebih lebihan namun juga tidak menyepelekan.

0 Comments :

Posting Komentar