Menjaga Kehormatan dan Wibawa
Ada yang mengatakan bahwa Muhammad bin Sirin tidak makan di hadapan banyak orang. Saat ia diundang, ia akan datang namun tidak makan. Apabila Muhammad bin Sirin diundang ke sebuah acara, beliau masuk ke rumahanya dan berkata, “Beri aku sedikit minuman.” Orang-orang bertanya mengapa hanya sedikit saja. Ia menjawab, “Aku tidak suka memuaskan rasa laparku dengan mengambil jatah makan orang.” (Ismail al-Ashbahani: Siyar as-Salaf as-Shalihin, Hal: 921). Mungkin kondisi di zaman dulu, jamuan makan itu tidak sebanyak di zaman sekarang. Sehingga ia lebih mengedepankan orang lain dibanding dirinya.
Muhammad bin Sirin mendengar seseorang yang mencela al-Hajjaj bin Yusuf, ia datangi orang tersebut dan berkata, “Ada apa? Di akhirat nanti, dosa terkecil yang pernah kau lakukan lebih berat bagimu dari dosa terbesarnya al-Hajjaj. Ketahuilah bahwa Allah itu Maha Bijaksana dan Maha Adil. Kalau Allah menyiksa al-Hajjaj atas kezalimannya terhadap orang lain, pasti Allah juga akan mengadzab seseorang yang menzalimi al-Hajjaj. Karena itu, jangan sibukkan dirimu dengan mencela seorang pun.” (ash-Shufdi: al-Wafi bil Wafiyat, 11/241).
Pemimpin yang zalim akan dihisab bahkan diadzab karena kezalimannya. Tapi hal itu tidak membuat mencelanya dihadapan orang-orang atau di sosial media menjadi halal dan legal. Mencela orang tetaplah perbuatan tercela. Dan akan dimintai pertanggung-jawabannya.
Ibadahnya
Ibnu Sirin punya kebiasaan membaca tujuh wirid di malam hari. Kalau ada bacaan tersebut yang ia lewatkan, maka akan ia baca di siang hari (Ibnu Saad: ath-Thabaqat al-Kubra, 7/149). Ia terbiasa berpuasa satu hari dan tidak puasa di hari berikutnya (puasa Dawud) (Ibnu Asakit: Tarikh Dimasyq, 53/210). Hal ini menunjukkan konsistennya dalam menunaikan amalan hariannya. Dan amalan yang utama adalah amalan yang dilakukan secara konsisten.
Dari Bisyr bin Umar, ia berkata, “Ummu Ibad istri dari Hisyam bin Hasan menyampaikan padaku, ‘Kami pernah singgah bersama Muhammad bin Sirin di suatu tempat. Kami mendengar tangisnya di malam hari dan tawanya di siang hari’.” (Jamaluddin al-Mizzi: Tahdzib al-Kamal fi Asma-i ar-Rijal, 25/352). Artinya, saat ia menyendiri dengan mengagungkan Allah, ia menunjukkan rasa takut dan merenungi kesalahan-kesalahannya. Saat bersama dengan manusia di siang hari, ia menunjukkan wajah yang ceria. Bukan sebaliknya. Ia tidak bersedih-sedih menampilkan keshalehan dan rasa takut saat bersama orang-orang. Tapi, saat sendiri tak ada manusia yang melihat malah berbuat dosa.
Kalau lewat di pasar dan bertemu orang-orang, ia ingatkan mereka untuk bertasbih mensucikan Allah dan mengingat-Nya Azza wa Jalla (Khatib al-Baghdadi: Tarikh Baghdad, 2/420). Inilah di antara gambaran pasa di zaman salaf. Aktivitas pedagang dan pengunjung tidak hanya membicarakan dunia semata. Tapi juga tetap berdzikir bahkan terdapat riwayat mereka ngobrol-ngobrol permasalahan fikih di pasar. Masyaallah…
Diriwayatkan pula bahwa Muhammad bin Sirin rahimahullah tidaklah memasuki pasar di siang hari kecuali dalam keadaan bertakbir, bertasbih, dan berdzikir kepada Allah Ta’ala. Kemudian seseorang berkata padanya, “Hai Abu Bakr, apakah di waktu seperti ini?” Ia menjawab, “Ini adalah waktu dimana banyak orang sedang lalai.” (Ismail al-Ashbahani: Siyar as-Salaf as-Shalihin, Hal: 923).
Allah Ta’ala memuji orang-orang yang demikian:
رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ
“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.” (QS. An Nur: 37)
Bercanda
Dikenal sebagai sosok yang teguh pendirian. Penasihat. Kuat memegang kebenaran. Semua itu bukan berarti beliau tak memiliki selera humor yang baik. Bahkan ia dikenal sebagai seorang yang suka tertawa dan bercanda. (al-Ka’bi: Qabul al-Akhbar wa Ma’rifati ar-Rijal, 1/215).
Sebagian orang kalau sudah menjadi tokoh hilanglah selera humornya. Ia menganggap wibawanya akan jatuh kalau sesekali bercanda dan tertawa. Padahal canda tan tawa adalah pemanis interaksi. Dan merekatkan hubungan. Selama itu tidak berlebihan.
Tafsir Mimpi
Sebagian orang dikaruniakan Allah memiliki ketajaman firasat dan kemampuan menafsirkan mimpi dengan tepat. Di antara orang tersebut adalah Muhammad bin Sirin. Pernah ada seseorang bertanya padanya, “Aku bermimpi bahwa aku menjilat madu dari sebuah gelas minum yang terbuat dari permata.” Ibnu Sirin menjawab, “Bertakwalah kepada Allah. Ulangilah hafalan Alquranmu. Karena sesungguhnya engkau membacanya kemudian melupakannya.”
Ada seorang yang bertanya, “Aku bermimpi buang air kecil darah.” Ia menjawab, “Apakah kau mendatangi istrimu dalam keadaan haidh?” “Iya”, jawabnya. “Bertakwalah kepada Allah dan jangan kau ulangi hal itu,” kata Ibnu Sirin.
Ibnu Sirin bermimpi seolah melihat bintang al-jauza mendahului bintang tsurayya. Kemudian ia berwasiat. Dan berkata, “al-Hasan al-Bashri akan wafat. Kemudian aku. Dan dia lebih mulia dariku.” (Ismail al-Ashbahani: Siyar as-Salaf as-Shalihin, Hal: 924-925).
Ada seseorang yang berkata pada Ibnu Sirin, “Aku bermimpi bahwa aku memegang gelas terbuat dari kaca yang berisi air. Kemudian gelas itu pecah. Tapi airnya tetap ada.” Ibnu Sirin menanggapi, “Bertakwalah pada Allah. Engkau tidak mimpi apapun.” “Subhanallah,” kata orang tersebut. Ibnu Sirin melanjutkan, “Siapa yang dusta, aku tidak menanggungnya. Tapi istrimu akan melahirkan kemudian meninggal. Sementara anaknya tetap hidup.” Saat orang tersebut pergi, ia berkata, “Demi Allah, aku memang tak memimpikan apapun.” Kemudian istrinya melahirkan dan meninggal (Ibnu Asakir: Tarikh Dimasyq, 53/232).
Wafat
Sejarawan sepakat kalau Muhammad bin sirin wafat di Kota Bashrah pada tahun 110 H. Tepat 100 hari setelah wafatnya al-Hasan al-Bashri. Muhammad bin Zaid berkata, “Hasan wafat di awal Rajab tahun 110 H. Kemudian Muhammad bin Sirin wafat 9 hari setelah berlalu bulan Syawal tahun 110 H (An-Nawawi: Tadzhib al-Asma wa al-Lughat, 1/84 dan adz-Dzahabi: Tarikh al-Islami, 3/159).
Wasiat Muhammad bin Sirin rahimahullah untuk keluarganya sepeninggalnya adalah agar mereka bertakwa kepada Allah. Dan memperbaiki hubungan sesama mereka. Kemudian agar mereka menaati Allah dan Rasul-Nya kalau mereka benar-benar orang yang beriman. Ia juga mewasiati keluarganya dengan wasiat Ibrahim dan Ya’qub kepada keluarganya:
يَا بَنِيَّ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفى لَكُمُ الدِّينَ فَلا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
“Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam.”
Ia juga mewasiatkan agar keluarganya menjadi saudara yang saling menolong dan mencintai di atas agama. Dan mengatakan bahwa menjaga kesucian diri dan jujur adalah lebih baik, lebih kekal, dan lebih mulia dari zina dan dusta (Ibnu Saad: ath-Thabaqat al-Kubra, 7/153-154).
0 Comments :
Posting Komentar