Allah telah menciptakan manusia dengan sebagus bagusnya makhluk. Kebagusan manusia ini bisa dilihat dari perangkat yang diberikan kepada manusia, baik perangkat keras yang berupa jasad maupun perangkat lunak yang berupa hati dan pikiran. Keberadaan perangkat lunak ini mempengaruhi bagus tidak nya perangkat keras. Karena perangkat lunak yang berupa hati dan pikiran itu menjadi motor penggerak kehidupan manusia., Bahkan, baik buruknya kehidupan seseorang sangat ditentukan oleh hati.
Dari An-Nu’man bin Basyir ra, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim bahwa Nabi saw bersabda:
أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ . أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ
Artinya: Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati (jantung) (HR Bukhari nomor 52 dan Muslim nomor 1599).
Karenanya, menjaga hati agar tetap baik dan tidak rusak menjadi suatu keharusan bagi manusia, agar kehidupannya menjadi baik, bukan hanya baik di dunia tetapi yang lebih utama lagi adalah baik kehidupan di akhiratnya.
Hasan al Bashri, seorang tabiin mengingatkan kepada kita semua adanya 6 hal yang bisa merusak dan menghancurkan hati kita. Kerusakan hati bukan hanya berarti rusaknya hati dari bentuk fisiknya tapi juga rusak dari sesi iradah dan pemahamannya terhadap kebenaran. Hasan al Bashri mengatakan:
وعن الحسن البصري أنه قال: إن فسادالقلوب عن ستة أشياء ، أولها: يذنبون برجاء اتوبة، ويتعلمون العلم ولا يعملون، وإذا عملوا لا يخلصون، ويأكلون رزق الله ولا يشكرون، وما يرضون بقسمة الله، ويدفنون موتاهم ولا يعتبرون
Artinya: Dari Hasan al Bashri ia berkata, sesungguhnya kerusakan hati itu disebabkan 6 hal, Yakni sengaja berbuat dosa dengan harapan kelak taubatnya diterima, mempelajari ilmu namun tidak mau mengamalkannya, ketika beramal tidak Ikhlas, memakan rezeki Allah namun tidak mensyukurinya, tidak ridha (puas) dengan pemberian Allah, dan mengubur jenazah namun enggan mengambil pelajaran dari kematian mereka.
Yang pertana, Sengaja berbuat maksiat atau dosa dengan harapan bisa bertaubat (taubatnya diterima)
Salah satu bentuk penyepelean manusia adalah selalu menganggap remeh dosa yang ia lakukan. Meskipun dosa yang dilakukannya kecil menurut pandangannya, hendaknya dia sadar kepada siapa dia melakukan dosa. Memang ada orang orang yang mempunyai tabiat seperti itu, menganggap sepele sebuah dosa. Ia tidak sadar bahwa penyepeleaannya terhadap perbuatan maksiat itu sebuah dosa besar dan bisa jadi ia selalu bergelimang dengan dosa dosa yang dianggapnya kecil. Padahal di mata para salaf tidak ada dosa kecil bagi mereka.
Cukuplah perkataan shahabat yang bernama Anas
عَنْ أَنَسٍ – رضى الله عنه – قَالَ إِنَّكُمْ لَتَعْمَلُونَ أَعْمَالاً هِىَ أَدَقُّ فِى أَعْيُنِكُمْ مِنَ الشَّعَرِ ، إِنْ كُنَّا نَعُدُّهَا عَلَى عَهْدِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – الْمُوبِقَاتِ
Artinya: Dari Anas ra, ia berkata, sesungguhnya kalian melakukan suatu amalan dan menyangka bahwa itu lebih tipis dari rambut. Namun kami menganggapnya di masa Nabi saw sebagai sesuatu yang membinasakan (HR Bukhari nomor 6492).
Memang Allah mempunyai sifat Mahapengampun lagi Mahapenyanyang. Allah akan mengampuni seorang hamba yang datang dengan segunung dan seluas samudera dosa. Bahkan Allah akan tertawa dengan orang yang taubat dan orang yang taubat akhirnya menjadi bersih dari dosa dosanya.
Tetapi harus diingat juga bahwa Allah itu Mahapedih siksaNya. Dan tidak ada jaminan bagi manusia untuk bisa taubat dari sebuah dosa. Bahkan tidak sedikit kita dapati seorang yang sedang asik asiknya melakukan dosa (ia mengira setelahnya ia bisa bertaubat) namun ajal terlebih dulu menjemputnya saat dia sedang melakukan perbuatan maksiat.
Yang kedua, mempelajari ilmu tetapi tidak untuk diamalkan
Kalau kita hitung hitung ilmu tentang kebenaran islam yang telah kita ketahui itu jauh lebih banyak dibandingkan dengan amalan kita yang didasari ilmu. Hal itu bisa terjadi mungkin karena ketidakmampuan kita sehingga kita tidak bisa memaksakan diri melaksanakan suatu ilmu atau karena memang kita malas dan tidak mau melaksanakan ilmu itu dengan berbagai pertimbangan manusiawi kita. Untuk urusan kewajiban kita memang diperintahkan melaksanakan kewajiban itu semampu kita. Karena kadang sebuah kewajiban itu membutuhkan sesuatu yang mungkin kita belum punya atau belum mampu. Misalnya kewajiban haji, infak shadaqah dan sebagainya.
Tetapi untuk urusan meninggalkan larangan tidak ada syarat kemampuan yang dibutuhkan. Sehingga untuk sebuah larangan mau tidak mau harus dilaksanakan. Misal larangan melaksanakan zina, larangan mabuk, larangan riba dan sebagainya.
Ingatlah orang yang tidak meninggalkan sesuatu yang diharamkan (dilarang) Allah dengan alasan alasan terntu, pada dasarnya dia telah suudzhan kepada Allah., Suudzhan bahwa Allah tidak akan mampu memenuhi atau menjaga kehidupannya kecuali dia harus melaksanakan yang di larang Allah.
Karenanya pastikan ketika kita mencari ilmu itu untuk diamalkan. Seorang Tabiin Malik bin Dinar pernah berkata
من طلب العلم للعمل وفقه الله ومن طلب العلم لغير العمل يزداد بالعلم فخرا
Artinya: Barangsiapa yang mencari ilmu (agama) untuk diamalkan, maka Allah akan terus memberi taufik padanya. Sedangkan barangsiapa yang mencari ilmu, bukan untuk diamalkan, maka ilmu itu hanya sebagai kebanggaan (kesombongan) (Hilyatul Auliya’, 2: 378).
Yang ketiga, Beramal tidak ikhlas
Syarat diterimanya amal ada dua, salah satunya adalah ikhlas karena Allah. Hadiah yang akan diberikan oleh Allah kepada seseorang itu sesuai dengan amalnya
هَلْ جَزَاۤءُ الْاِحْسَانِ اِلَّا الْاِحْسَانُۚ [ الرحمن: 60]
“Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula)”. [ar-Rahman/55: 60]
Dan kebaikan itu diukur dengan dua hal tadi, yang salah satunya adalah ikhlas. Ikhlas itu adalah membebaskan sebuah amalan dari selain Allah. Jadi ketika orang beramal ada dua tujuannya untuk Allah dan untuk selain Allah, maka amalnya tidak diterima.,
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Umamah ra, beliau berkata: Datang seorang lelaki kepada Rasulullah saw dan bertanya, “Bagaimana menurut engkau (ya Rasulullah) jika ada seorang yang berperang untuk mengharapkan pahala dan sekaligus ingin disebut namanya (sebagai pahlawan), apa yang ia dapatkan? Rasulullah saw bersabda, “Ia tidak mendapatkan apa-apa”.Lelaki tadi mengulangi pertanyaannya hingga tiga kali. Rasulullah saw tetap bersabda, “Ia tidak mendapatkan apa-apa”. Lalu Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah swt tidak menerima amalan kecuali yang ikhlas mengharapkan wajah-Nya”.
Yang keempat, Memakan Rejeki tetapi Tidak Mensyukuri
Rezeki merupakan karunia Allah swt yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya, jadi sudah sepantasnya kita semua untuk selalu mensyukuri dari setiap apapun yang diberikan kepada kita. Rasulullah bersabda yang diriwayatkan oleh Ahmad dari An Nu’man bin Basyir:
مَنْ لَمْ يَشْكُرِ الْقَلِيلَ لَمْ يَشْكُرِ الْكَثِيرَ
Artinya: Barang siapa tidak mensyukuri yang sedikit, maka ia tidak akan mampu mensyukuri sesuatu yang banyak (HR Ahmad, 4/278).
Hadis ini benar sekali. Bagaimana mungkin seseorang dapat mensyukuri rezeki yang banyak, jika rezeki yang sedikit saja tidak mampu disyukuri. Hal ini juga dikuatkan di dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 172:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُلُوا۟ مِن طَيِّبَٰتِ مَا رَزَقْنَٰكُمْ وَٱشْكُرُوا۟ لِلَّهِ إِن كُنتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah (QS Al-Baqarah: 172).
Akan tetapi, jika kita yang telah diberikan nikmat oleh Allah swt melupakan nikmat-Nya dan enggan bersyukur, maka Allah akan memberinya azab yang berat. Sebagaimana disebutkan di dalam Al-Qur’an Surah Ibrahim ayat 7:
وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ
Artinya: Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat (QS Ibrahim: 7).
Yang kelima, tidak ridha (puas) dengan pemberian Allah swt.
Ridha dengan pemberian Allah merupakan sifat qanaah yang akan membuat hati seseorang merasa cukup dan merasa puas dengan rezeki yang dia miliki. Ia juga tidak akan menuntut lebih terhadap apa yang sudah ada di tangannya. Karena bagi mereka harta dan segala yang diberikan Allah merupakan titipan semata. Diriwayatkan oleh Thabrani bahwa Rasulullah saw bersabda:
الْقَنَاعَةُ كَنْزٌ لاَ يَفْنى
Artinya: Qanaah merupakan kekayaan yang tidak pernah musnah (dalam ath-Thabrani, al-mu'jam al-Ausath, 7/84).
Hadis di atas menunjukkan sifat qanaah menjadi salah satu modal untuk menggapai kehidupan yang lebih lapang, nyaman, dan tentram. Sebaliknya, sifat tamak menjadi ladang kerugian dan juga kehinaan bagi manusia. Sebagaimana yang tertulis dalam kitab an-Nihayah fi Gharib al-Hadis:
عَزَّ عَنْ قَنَعَ، وَذلَّ مَنْ طَمَعَ
Artinya: Sungguh mulia orang yang qanaah, dan sungguh hina orang yang tamak (dalam ibnu al-Atsir, an-Nihayah fi Gharib al-Hadis).
Yang terakhir, keenam, yakni mengubur jenazah namun enggan mengambil pelajaran dari kematian mereka.
Kematian adalah takdir seluruh makhluk, manusia ataupun jin, hewan ataupun makhluk-makhluk lain, baik lelaki atau perempuan, tua ataupun muda, baik orang sehat ataupun sakit. Seperti dalam firman Allah Ta’ala berikut ini (yang artinya): Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan (QS. Ali Imran: 185).
Sebaik-baik manusia merupakan yang dapat mengambil hikmah dari peristiwa kematian, karena kematian bukan hanya sekedar takdir melainkan hikmah dan nasihat dari Tuhan untuk yang masih hidup. Karena dengan kematian manusia tidak terlalu bernafsu untuk mengejar kenikmatan dunia. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ ». يَعْنِى الْمَوْتَ.
Artinya: Abu Hurairah ra meriwayatkan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Perbanyaklah mengingat pemutus kelezatan, yaitu kematian" (HR Tirmidzi dan dishahihkan di dalam kitab Shahih Tirmidzi).
Dengan mengingat mati seorang hamba juga bisa menjadi menjadi mukmin yang cerdas berakal. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu majah:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رضي الله عنهما أَنَّهُ قَالَ: كُنْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَجَاءَهُ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- ثُمَّ قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ الْمُؤْمِنِينَ أَفْضَلُ قَالَ: «أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا» قَالَ فَأَىُّ الْمُؤْمِنِينَ أَكْيَسُ قَالَ: «أَكْثَرُهُمْ لِلْمَوْتِ ذِكْرًا وَأَحْسَنُهُمْ لِمَا بَعْدَهُ اسْتِعْدَادًا أُولَئِكَ الأَكْيَاسُ»
Artinya: Abdullah bin Umar ra bercerita, Aku pernah bersama Rasulullah saw, lalu datang seorang lelaki dari kaum Anshar mengucapkan salam kepada Nabi Muhammad saw lalu bertanya: "Wahai Rasulullah, orang beriman manakah yang paling terbaik?”, Beliau menjawab: “Yang paling baik akhlaknya”. Orang ini bertanya lagi: “Lalu orang beriman manakah yang paling berakal (cerdas)?”, beliau menjawab: “Yang paling banyak mengingat kematian dan paling baik persiapannya setelah kematian, merekalah yang berakal” (HR Ibnu Majah dan dishahihkan di dalam kitab Shahih Ibnu Majah).
Al Inshof adalah blog yang memberikan kejernihan dalam menimbang hidup. Islam adalah agama tengah tengah. Tidak berlebih lebihan namun juga tidak menyepelekan.
0 Comments :
Posting Komentar