JAKARTA (an-najah) – Rencana film berjudul ‘Muhammad (S)’ buatan Iran yang memvisualisasikan sosok agung Nabi Muhammad Saw sudah mendapat perhatian banyak pihak diberbagai belahan dunia muslim. Para ulama internasional segera angkat suara mengecam insiden ini, diantaranya adalah ulama kharismatik asal Mesir Yusuf Qordhowi.
Menanggapi insiden itu, Sekjen MIUMI Ustadz Bachtiar Natsir kepada reporter An-najah.net menyatakan bahwa, memvisualisasikan sosok Rasulullah SAW yang agung itu menunjukkan salahnya persepsi mereka dalam menyikapi kenabian Nabi Muhammad Saw.
Beliau menegaskan, “Secara aqidah kita menolak, dan itu adalah penistaan terhadap Nabi Saw.”
“Hal ini juga menunjukan kecerobohan sekaligus kebodohan jika pemerintah (Iran, red) mengizinkan dan tidak adanya demo atau penentangan disana itu semakin memepertegas penyimpangan aqidah mereka dalam hal nubuwah/kenabian,” ungkap beliau saat ditemui di AQL Center, Rabu (20/02).
Ustadz yang juga merupakan sosok alumni Madinah Islamic University ini juga menjabarkan, meskipun ada perbedaan tingkatan ekstrem dalam paham syiah, tetapi pengaruh ajaran mereka dalam doktrin imamah dan ‘ishmah (kesucian para imam dari dosa ma’shum)membuat mereka berani merepresentasikan kehadiran Nabi Saw di muka bumi.
“Bagi kita itu adalah sebuah penistaan akibat doktrin yang keliru, aqidah syiah. saya mencoba mencari tangga logikanya, kenapa kok mereka berani memvisualkan Nabi Saw. untuk bisa sampai kesitu kan mereka tidak menganggap ini adalah suatu hal yang sakral. Barangkali mereka bisa menyaksikan apa yang disebut Nabi, itu seperti imam-imam yang ma’shum itu dengan semua perilaku baik dan buruknya yang mereka lihat dalam keseharian. lanjut Ustadz Bachtiar.
Dalam ajaran syiah, karena para imam yang maksum itu yang terlihat, yang terdengar dan terasa dalam kehidupan sehari-hari sehingga mereka berani melakukan penistaan terhadap Nabi Saw. Bagi mereka imam ma’shum itu dapat terlihat dengan semua kehinaannya,dan itu dianggap sebagai bagian dari kema’shuman. Sementara bagi Ahlu Sunnah wal Jamaah, Nabi Muhammad Saw. terbebas dari dosa-dosa besar, bagi kita Nabi Saw adalah manusia biasa yang pernah melakukan dosa kecil tapi beliau segera bertaubat.
Disinilah perbedaan mendasar aqidah dan fiqh antara Ahlu Sunnah dengan Syiah, keimanan mereka terhadap nubuwwah dan ishmah (kesucian dari dosa) mungkin persepsinya berbeda dengan kita. ”Sesuci apa mereka memandang sosok nabi dan dari sisi aqidah bagaimana mereka memandang terhadap visualisasi Nabi Saw ini menunjukkan jauhnya cara mereka denga cara kita mensucikan Nabi” ujar beliau.
Fatwa MUI tentang Visualisasi sosok para Nabi
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Dalam Fatwanya Tentang Hukum Memerankan Nabi/Rasul Dalam Film Tertanggal 2 Juni 1988, Memutuskan/Menetapkan:
1. Para Nabi/Rasul dan keluarganya haram divisualisasikan dalam film.
2. Untuk menghindari kesalahpahaman tentang pengertian “Nur Muhammad”, maka tidak dibenarkan menggunakan cahaya sebagai pengganti Nabi Muhammad SAW. [fajar]
Menanggapi insiden itu, Sekjen MIUMI Ustadz Bachtiar Natsir kepada reporter An-najah.net menyatakan bahwa, memvisualisasikan sosok Rasulullah SAW yang agung itu menunjukkan salahnya persepsi mereka dalam menyikapi kenabian Nabi Muhammad Saw.
Beliau menegaskan, “Secara aqidah kita menolak, dan itu adalah penistaan terhadap Nabi Saw.”
“Hal ini juga menunjukan kecerobohan sekaligus kebodohan jika pemerintah (Iran, red) mengizinkan dan tidak adanya demo atau penentangan disana itu semakin memepertegas penyimpangan aqidah mereka dalam hal nubuwah/kenabian,” ungkap beliau saat ditemui di AQL Center, Rabu (20/02).
Ustadz yang juga merupakan sosok alumni Madinah Islamic University ini juga menjabarkan, meskipun ada perbedaan tingkatan ekstrem dalam paham syiah, tetapi pengaruh ajaran mereka dalam doktrin imamah dan ‘ishmah (kesucian para imam dari dosa ma’shum)membuat mereka berani merepresentasikan kehadiran Nabi Saw di muka bumi.
“Bagi kita itu adalah sebuah penistaan akibat doktrin yang keliru, aqidah syiah. saya mencoba mencari tangga logikanya, kenapa kok mereka berani memvisualkan Nabi Saw. untuk bisa sampai kesitu kan mereka tidak menganggap ini adalah suatu hal yang sakral. Barangkali mereka bisa menyaksikan apa yang disebut Nabi, itu seperti imam-imam yang ma’shum itu dengan semua perilaku baik dan buruknya yang mereka lihat dalam keseharian. lanjut Ustadz Bachtiar.
Dalam ajaran syiah, karena para imam yang maksum itu yang terlihat, yang terdengar dan terasa dalam kehidupan sehari-hari sehingga mereka berani melakukan penistaan terhadap Nabi Saw. Bagi mereka imam ma’shum itu dapat terlihat dengan semua kehinaannya,dan itu dianggap sebagai bagian dari kema’shuman. Sementara bagi Ahlu Sunnah wal Jamaah, Nabi Muhammad Saw. terbebas dari dosa-dosa besar, bagi kita Nabi Saw adalah manusia biasa yang pernah melakukan dosa kecil tapi beliau segera bertaubat.
Disinilah perbedaan mendasar aqidah dan fiqh antara Ahlu Sunnah dengan Syiah, keimanan mereka terhadap nubuwwah dan ishmah (kesucian dari dosa) mungkin persepsinya berbeda dengan kita. ”Sesuci apa mereka memandang sosok nabi dan dari sisi aqidah bagaimana mereka memandang terhadap visualisasi Nabi Saw ini menunjukkan jauhnya cara mereka denga cara kita mensucikan Nabi” ujar beliau.
Fatwa MUI tentang Visualisasi sosok para Nabi
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Dalam Fatwanya Tentang Hukum Memerankan Nabi/Rasul Dalam Film Tertanggal 2 Juni 1988, Memutuskan/Menetapkan:
1. Para Nabi/Rasul dan keluarganya haram divisualisasikan dalam film.
2. Untuk menghindari kesalahpahaman tentang pengertian “Nur Muhammad”, maka tidak dibenarkan menggunakan cahaya sebagai pengganti Nabi Muhammad SAW. [fajar]
0 Comments :
Posting Komentar