(an-najah.net) – Allah Yang Mahakuasa telah mewajibkan jihad kepada hamba-Nya yang beriman dan memberitahukan bahwa jihad adalah kewajiban yang tidak mereka sukai:
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci.” [2: 216].
Namun, kesulitan, kepedihan, berjuang melawan hawa nafsu, lapar, haus, ketakutan, penderitaan, berpisah dari keluarga dan tempat tinggal; semua hal yang melekat dengan ibadah jihad ini sebenarnya merupakan bagian dari aktualitas ayat lain:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepada kalian, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” [2: 155]
Ayat lainnya adalah:
“Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badui yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (berperang) dan tidak patut (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri rasul. Yang demikian itu karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan kemarahan orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal saleh. Sesungguhnya Allah tidak menyia-siakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” [9: 120].
Karena semua beban itu, jihad menjadi kebencian bagi setiap jiwa yang secara kodrati cenderung mencari keselamatan, kelembutan, dan kepuasan dalam kenyamanan dan benar-benar jauh dari bahaya apa pun. Oleh karena itu, konsekuensi jihad dan keinginan jiwa dalam kebanyakan kasus terjadi pertentangan, seperti diungkapkan oleh Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا مَا لَكُمْ إِذَا قِيلَ لَكُمُ انْفِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ اثَّاقَلْتُمْ إِلَى الْأَرْضِ أَرَضِيتُمْ بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا مِنَ الْآَخِرَةِ فَمَا مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فِي الْآَخِرَةِ إِلَّا قَلِيلٌ
“Wahai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya bila dikatakan kepadamu, ‘Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah” kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit.” [9: 38].
Ayat-ayat lain yang berkaitan adalah:
“Katakanlah, ‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” [9: 24].
“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka, ‘Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat!’ setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebagian dari mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih daripada itu takutnya. Mereka berkata, ‘Ya Tuhan kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami? Mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban berperang) kepada kami sampai kepada beberapa waktu lagi?’” [4: 77].
Oleh karena itu, jihad menuntut dedikasi, semangat untuk memikul beban tersebut, sandaran untuk menahan kesulitan, dan kesabaran dalam melakukan itu. Namun, jiwa yang hina dan turun ke level terendah di bumi akan menempel di hiasannya. Ia sibuk dengan kenikmatan kehidupan duniawi dan juga puas dengan itu.
Oleh karenanya, dalam pertempuran yang di sana ada kematian dan kengerian di depan jiwa, timbullah dua kemungkinan dari balik jiwa; mundur yang berarti kehinaan atau maju yang berbuah keberuntungan. Dengan demikian, jiwa itu cenderung kepada dunia atau memilih jihad itu—meskipun sejatinya merupakan kebaikan— tergantung pada tahap ini.
Jadi, jiwa itu suka tergesa-gesa sehingga lebih suka memperoleh yang instan (dunia) dan tidak suka sesuatu yang sifatnya masih ditunda (pahala akhirat).
“Jihad mulia atau aib, tentukan pilihanmu!”
Dari statemen tersebut, mari kita belajar mengetahui rahasia sabda Rasulullah saw:
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ
“Jika kalian telah berjual beli dengan sistem inah, mengikuti ekor sapi, rela dengan pertanian, serta meninggalkan jihad (di jalan Allah), niscaya Allah akan menjadikan kehinaan menguasai kalian, Dia tidak akan mencabutnya dari kalian, hingga kalian kembali kepada agama kalian.” (Sahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud)
Dapat dipahami dari hadits ini bahwa jihad harus selalu diberikan prioritas, dan bahwa siapa pun mestinya tidak meninggalkan jihad itu karena kesibukan apa pun dalam urusan kehidupan sekarang ini. Ini berbeda dengan orang yang menunaikan ibadah jihad dan di samping itu juga terlibat dalam pertanian, budi daya atau bisnis. Imam Ibnu Rajab Al-Hambali mengatakan, “Itulah mengapa para sahabat tidak suka terlibat dalam pertanian bila mengalihkan perhatian dari jihad ” (Al-Hukm al-Jadîrah bil Idhâ’ah, 14)
Imam Ibnu An-Nuhas, berkata tentang hadits tersebut, “Makna hadits adalah bahwa jika orang meninggalkan jihad dan lebih sibuk dalam pertanian atau semacamnya, akibatnya musuh akan memegang kekuasaan atas mereka karena kurangnya kesiapan dan persiapan untuk menghadapi kewajiban yang luar biasa tersebut. Hal ini juga karena mereka telah mapan dengan kondisi mereka (yakni, kemewahan, pelayanan, kenyamanan).
Jadi, Allah membuat mereka dipermalukan dan terhina oleh musuh sejauh mereka tidak dapat membebaskan diri dari keduniaan itu sampai mereka kembali kepada apa yang diwajibkan atas mereka; memerangi orang kafir, bersikap keras terhadap mereka, mendirikan agama, mendukung Islam dan Muslim, meninggikan kalimat Allah, dan merendahkan kekafiran dan orang-orangnya.
Dan ucapan beliau, “hingga kalian kembali kepada agama kalian” menunjukkan bahwa berpaling dari jihad dan lebih memilih dunia sebenarnya adalah meninggalkan agama itu sendiri dan memisahkan darinya. Dan itu sudah cukup sebagai dosa dan kesalahan yang nyata. (Mashâri Al-Ashwâq, 106) Interpretasi meninggalkan agama —Allah lebih mengetahui— ini tentu saja tidak lantas berarti sebuah kekufuran yang berarti murtad, seperti dipahami sebagian orang. Saya tidak berpikir bahwa orang berpengetahuan akan mengatakan, Muslim yang meninggalkan jihad dan sibuk dengan urusan dunia itu menjadi kafir. Tapi, wallahu a’lam, makna yang komprehensif dapat dinyatakan bahwa bila ibadah jihad ditinggalkan dan lebih memilih urusan dunia yang melalaikan maka salah satu akibatnya akan menyebabkan dominasi musuh kafir di tanah kaum Muslim.
Akibat lainnya, hal itu akan mengarah pada pelaksanaan hukum produk mereka yang akan memerangi agama, dan hukum yang akan membuat sakit hati, kebencian dan permusuhan terhadap kebenaran dan rakyatnya. Semua itu akan mengakibatkan maraknya korupsi, penyebaran kekufuran dan melemahnya agama serta penurunan kualitas hati rakyat. Seiring dengan perjalanan waktu, generasi berikutnya mengalami kerusakan. Mereka tidak mengakui kebenaran atau agama, generasi baru muncul sebagai generasi yang doyan maksiat dan kekafiran. Kita berlindung pada Allah. Contoh terbaik untuk ini adalah apa yang terjadi di Andalusia (Spanyol, sekarang), yang telah dilupakan hari ini. Ini semua berarti bahwa memukul mundur orang-orang kafir dan melindungi tanah dan agama Muslim, tidak bisa dilakukan kecuali dengan jihad di jalan Allah.
Hadits tersebut juga menunjukkan bahwa upaya para dai harus ditujukan pada pengembalian ibadah jihad dan memicu orang untuk memenuhinya. Karena jihad adalah pintu gerbang yang sah (syar’i) untuk hal-hal yang harus dikoreksi dan dibawa
kembali ke kondisi semula mereka, sehingga agama ini dihormati, kekafiran dipermalukan, Islam menyebar dan syirik tercabik-cabik. [al/is]
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci.” [2: 216].
Namun, kesulitan, kepedihan, berjuang melawan hawa nafsu, lapar, haus, ketakutan, penderitaan, berpisah dari keluarga dan tempat tinggal; semua hal yang melekat dengan ibadah jihad ini sebenarnya merupakan bagian dari aktualitas ayat lain:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepada kalian, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” [2: 155]
Ayat lainnya adalah:
“Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badui yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (berperang) dan tidak patut (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri rasul. Yang demikian itu karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan kemarahan orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal saleh. Sesungguhnya Allah tidak menyia-siakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” [9: 120].
Karena semua beban itu, jihad menjadi kebencian bagi setiap jiwa yang secara kodrati cenderung mencari keselamatan, kelembutan, dan kepuasan dalam kenyamanan dan benar-benar jauh dari bahaya apa pun. Oleh karena itu, konsekuensi jihad dan keinginan jiwa dalam kebanyakan kasus terjadi pertentangan, seperti diungkapkan oleh Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا مَا لَكُمْ إِذَا قِيلَ لَكُمُ انْفِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ اثَّاقَلْتُمْ إِلَى الْأَرْضِ أَرَضِيتُمْ بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا مِنَ الْآَخِرَةِ فَمَا مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فِي الْآَخِرَةِ إِلَّا قَلِيلٌ
“Wahai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya bila dikatakan kepadamu, ‘Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah” kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit.” [9: 38].
Ayat-ayat lain yang berkaitan adalah:
“Katakanlah, ‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” [9: 24].
“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka, ‘Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat!’ setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebagian dari mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih daripada itu takutnya. Mereka berkata, ‘Ya Tuhan kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami? Mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban berperang) kepada kami sampai kepada beberapa waktu lagi?’” [4: 77].
Oleh karena itu, jihad menuntut dedikasi, semangat untuk memikul beban tersebut, sandaran untuk menahan kesulitan, dan kesabaran dalam melakukan itu. Namun, jiwa yang hina dan turun ke level terendah di bumi akan menempel di hiasannya. Ia sibuk dengan kenikmatan kehidupan duniawi dan juga puas dengan itu.
Oleh karenanya, dalam pertempuran yang di sana ada kematian dan kengerian di depan jiwa, timbullah dua kemungkinan dari balik jiwa; mundur yang berarti kehinaan atau maju yang berbuah keberuntungan. Dengan demikian, jiwa itu cenderung kepada dunia atau memilih jihad itu—meskipun sejatinya merupakan kebaikan— tergantung pada tahap ini.
Jadi, jiwa itu suka tergesa-gesa sehingga lebih suka memperoleh yang instan (dunia) dan tidak suka sesuatu yang sifatnya masih ditunda (pahala akhirat).
“Jihad mulia atau aib, tentukan pilihanmu!”
Dari statemen tersebut, mari kita belajar mengetahui rahasia sabda Rasulullah saw:
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ
“Jika kalian telah berjual beli dengan sistem inah, mengikuti ekor sapi, rela dengan pertanian, serta meninggalkan jihad (di jalan Allah), niscaya Allah akan menjadikan kehinaan menguasai kalian, Dia tidak akan mencabutnya dari kalian, hingga kalian kembali kepada agama kalian.” (Sahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud)
Dapat dipahami dari hadits ini bahwa jihad harus selalu diberikan prioritas, dan bahwa siapa pun mestinya tidak meninggalkan jihad itu karena kesibukan apa pun dalam urusan kehidupan sekarang ini. Ini berbeda dengan orang yang menunaikan ibadah jihad dan di samping itu juga terlibat dalam pertanian, budi daya atau bisnis. Imam Ibnu Rajab Al-Hambali mengatakan, “Itulah mengapa para sahabat tidak suka terlibat dalam pertanian bila mengalihkan perhatian dari jihad ” (Al-Hukm al-Jadîrah bil Idhâ’ah, 14)
Imam Ibnu An-Nuhas, berkata tentang hadits tersebut, “Makna hadits adalah bahwa jika orang meninggalkan jihad dan lebih sibuk dalam pertanian atau semacamnya, akibatnya musuh akan memegang kekuasaan atas mereka karena kurangnya kesiapan dan persiapan untuk menghadapi kewajiban yang luar biasa tersebut. Hal ini juga karena mereka telah mapan dengan kondisi mereka (yakni, kemewahan, pelayanan, kenyamanan).
Jadi, Allah membuat mereka dipermalukan dan terhina oleh musuh sejauh mereka tidak dapat membebaskan diri dari keduniaan itu sampai mereka kembali kepada apa yang diwajibkan atas mereka; memerangi orang kafir, bersikap keras terhadap mereka, mendirikan agama, mendukung Islam dan Muslim, meninggikan kalimat Allah, dan merendahkan kekafiran dan orang-orangnya.
Dan ucapan beliau, “hingga kalian kembali kepada agama kalian” menunjukkan bahwa berpaling dari jihad dan lebih memilih dunia sebenarnya adalah meninggalkan agama itu sendiri dan memisahkan darinya. Dan itu sudah cukup sebagai dosa dan kesalahan yang nyata. (Mashâri Al-Ashwâq, 106) Interpretasi meninggalkan agama —Allah lebih mengetahui— ini tentu saja tidak lantas berarti sebuah kekufuran yang berarti murtad, seperti dipahami sebagian orang. Saya tidak berpikir bahwa orang berpengetahuan akan mengatakan, Muslim yang meninggalkan jihad dan sibuk dengan urusan dunia itu menjadi kafir. Tapi, wallahu a’lam, makna yang komprehensif dapat dinyatakan bahwa bila ibadah jihad ditinggalkan dan lebih memilih urusan dunia yang melalaikan maka salah satu akibatnya akan menyebabkan dominasi musuh kafir di tanah kaum Muslim.
Akibat lainnya, hal itu akan mengarah pada pelaksanaan hukum produk mereka yang akan memerangi agama, dan hukum yang akan membuat sakit hati, kebencian dan permusuhan terhadap kebenaran dan rakyatnya. Semua itu akan mengakibatkan maraknya korupsi, penyebaran kekufuran dan melemahnya agama serta penurunan kualitas hati rakyat. Seiring dengan perjalanan waktu, generasi berikutnya mengalami kerusakan. Mereka tidak mengakui kebenaran atau agama, generasi baru muncul sebagai generasi yang doyan maksiat dan kekafiran. Kita berlindung pada Allah. Contoh terbaik untuk ini adalah apa yang terjadi di Andalusia (Spanyol, sekarang), yang telah dilupakan hari ini. Ini semua berarti bahwa memukul mundur orang-orang kafir dan melindungi tanah dan agama Muslim, tidak bisa dilakukan kecuali dengan jihad di jalan Allah.
Hadits tersebut juga menunjukkan bahwa upaya para dai harus ditujukan pada pengembalian ibadah jihad dan memicu orang untuk memenuhinya. Karena jihad adalah pintu gerbang yang sah (syar’i) untuk hal-hal yang harus dikoreksi dan dibawa
kembali ke kondisi semula mereka, sehingga agama ini dihormati, kekafiran dipermalukan, Islam menyebar dan syirik tercabik-cabik. [al/is]
0 Comments :
Posting Komentar