Ummatan Wasatha

Manusia sekarang ini benar-benar berada ditengah arus globalisasi. Kesiapan umat islam dalam menyongsongnya, akan sangat menentukan apakah mereka akan menjadi kelompok penonton, pemain pinggiran, atau menjadi pemain yang secara positif menggerakan sekaligus mengarahkan. Kesemua posisi yang didapat itu, merupakan aspek substansial dalam mengarahkan corak perkembangan yang akan terus bergulir tanpa henti di masa-masa yang akan datang.
Penegasan Allah bahwa umat Islam menjadi Ummatan wasathan selayaknya mendapat perhatian yang sungguh-sungguh dari kita semua.
Ciri Ummatan wasathan yang pertama adalah adanya hak kebebasan yang harus selalu diimbangi dengan kewajiban.”barang siapa yang dianugrahi hikmah, ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak.”(QS Al-baqarah (2): 269).
Ciri kedua dari Ummatan wasathan adalah adanya keseimbangan antara kehidupan duniawi dengan ukhrawi, serta material dan spiritual.
Selanjutnya,
Ciri yang ketiga dari Ummatan wasathan adalah keseimbangan yang terwujud pada pentingnya kemampuan akal dan moral. Kemampuan akal manusia tercermin dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi hanya akan mampu menyelesaikan sebagian persoalan manusia, jadi bukan keseluruhannya. Jika ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai produk kecerdasan akal berada di tangan orang-orang yang tidak memiliki moral yang luhur, juga bias menimbulkan malapetaka.”telah tampak kerusakan di bumi dan di laut karena, disebabkan oleh ulah tangan manusia.”(QS Ar-Rum (30):41).

Allah telah menyatakan peran yang harus dimainkan Islam, yaitu sebagai Ummatan wasathan (umat yang serasi dan seimbang), adalah menjadi saksi atas kebenaran dan keagungan ajaran Allah.”Demikian (pula) kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan piliha, agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu”. (QS.Al-Baqarah (2):143).

Umat Islam atau ummatan wasatha adalah umat penyelaras kehidupan dunia dan akhirat, penengah antara umat Yahudi yang condong memikirkan dunia semata dan umat Nasrani yang condong dalam kehidupan kerohanian tanpa peduli urusan dunia dengan menyendiri di biara-biara dan tidak kawin. Umat ini yang akan menjadi saksi bagi umat-umat yang lain. Mengutip perkataan Hamka: “Umat Muhammad menjadi umat tengah dan menjadi saksi untuk umat yang lain, dan Nabi Muhammad saw menjadi saksi pula atas umatnya itu, adakah mereka jalankan pula tugas yang berat tetapi suci ini dengan baik?” . Itulah makna “ummatan wasathan”, umat pertengahan, umat yang adil serta menyampaikan risalah Islam kepada seluruh umat manusia. Dengan pandangan dan sikap ‘wasatha’, setiap Muslim dilarang melakukan tindakan ‘tatharruf’ atau ekstrim dalam menjalankan ajaran agama.
Kita juga sering mendengar sebutan Islam moderat untuk menyebut ummatan wasatha! Mungkin kata orang modern akhir-akhir ini dengan istilah barunya! Tapi jangan sebut itu. Karena istilah moderat bisa juga dipelintirkan oleh kalangan yang ingin merusak Islam. Biarkan nama Islam tetap Islam, tanpa embel-embel yang lain yang justru akan mengkaburkan makna Islam itu sendiri.
Al Ummah Al Islamiyyah atau ummatah wasatha adalah umat pertengahan di antara umat-umat terdahulu. Hal itu bias dilihat dari beberapa sisi
Mengenai hak Allah ta’ala :

Ummat Yahudi mensifati Allah dengan kekurangan-kekurangan, sehingga menyamakan-Nya dengan makhluk. Adapun Nashrani sebaliknnya, mereka menyetarakan kedudukan makhluk yang penuh kekurangan dengan Rabb yang sempurna. Sedangkan umat ini tidak mensifati Allah dengan kekurangan dan tidak pula menyamakan makhluk dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Mengenai hak para nabi :

Umat Yahudi mendustakan Isa bin Maryam dan mengingkarinya, sedangkan umat Nashrani justru mengkultuskan Isa Alaihissalam sampai menampatkan beliau sebagai Tuhan. Adapun umat ini tetap mengimaninya tanpa mengkultuskannya dan mengatakan bahwa beliau adalah hamba Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya.

Dalam perkara Ibadah :

Umat nashrani beribadah kepada Allah tanpa bersuci, yakni mereka tidak mau bersuci dari najis. Ketika salah seorang di antara mereka kencing dan air kencing mengenai pakaiannya, dia langsung sembahyang dalam gereja tanpa bersuci terlebih dahulu. Sedangkan Yahudi sebaliknya, jika mereka terkena najis meeka akan merobek-robek baju mereka. Menurut mereka air tidak bias mensucikannya, sampai-sampai mereka tidak mau mendekati orang yang sedang haidh, tidak mau makan bersama apalagi berkumpul dengannya.

Adapun umat ini, mereka adalah umat pertengahan. Mereka tidak melakukan satu pun di antara keduanya. Mereka tidak merobek-robek pakaian dan tidak pula shalat dalam keadaan najis, akan tetapi membersihkannya sebersih-bersihnya sampai benar-benar hilang najisnya kemudian shalat dengannya. Mereka tidak menjauhi wanita haidh, bahkan mereka makan bersama, bercanda dan berkumpul dengannya kecuali jima’.

Demikian pula dalam masalah-masalah yang diharamkan seperti makanan dan minuman. Umat Nashrani menghalalkan makanan-makanan yang menjijikkan dan menghalalkan semua yang haram, sedangkan Yahudi mengharamkan setiap binatang yang memiliki kuku, sebagaimana firman Allah Ta’ala :

“Dan kepada orang-orang Yahudi, Kami haramkan segala binatang yang berkuku, dan dari sapid an domba, Kami haramkan atas mereka lemak dari kedua binatang itu, selain lemak yang melekat di usus atau yang bercampur dengan tulang. Demikianlah Kami hokum mereka disebabkan kedurhakaan mereka, dan sesungguhnya Kami adalah Maha Benar.”(QS. Al An’am: 146)

Sekali lagi umat ini adalah umat pertengahan, mereka menghalalkan yang baik-baik dan mengharamkan yang buruk dan kotor.

Dalam hokum qishash :
Umat Yahudi mengatakan bahwa qishash itu wajib, sedangkan Nashrani menyatakan bahwa memberikan toleransi dalam qishash itu wajib. Adapun umat ini, mereka diberikan pilihan antara qishash, membayar diyat (denda) atau dimaafkan begitu saja.
Maka dari itu, umat Islam selalu berada di tengah-tengah, yaitu tidak ekstrim dan tidak pula bersambalewa.

About Al Inshof

Al Inshof adalah blog yang memberikan kejernihan dalam menimbang hidup. Islam adalah agama tengah tengah. Tidak berlebih lebihan namun juga tidak menyepelekan.

1 Comments :

  1. ya kita harus tengah-tengah dalam menimbang setiap persoalan, tidak terlalu berlebih-lebihan dan tidak terlalu meremehkan

    BalasHapus