Setiap muslim pasti menyadari bahwa hidup di dunia ini bukanlah suatu kebetulan dan tanpa batas. Bahkan setiap manusia pastinya mengetahui bahwa hidup di dunia ini tidaklah kekal. Ia terikat dengan kontrak yang telah ditetapkan. Kematian pasti selalu mendatanginya. Karena setiap yang hidup pasti akan mengalami kematian.
Hal yang perlu diyakini selanjutnya adalah bahwa kematian bukanlah akhir dari segalanya. Kematian justru pintu gerbang memasuki kehidupan yang sesungguhnya, kehidupan yang abadi yakni kehidupan di akhirat. Ngerinya, hanya ada satu kemungkinan diantara dua yang akan dihadapi manusia ketika sudah memasuki kehidupan akhirat, yakni kebahagiaan atau penderitaan. Satu diantara dua itu pasti akan dialami manusia.
Kebahagiaan atau kesengsaraan hidup di akhirat itu ditentukan oleh perbuatan kita sewaktu di dunia. Karenanya dunia bagi seorang mukmin adalah ladang untuk menanam kebaikan dan ibadah yang nantinya akan dipanen ketika di akhirat. Kalau toh ibadah yang dilakukan memberi efek kebahagiaan itu hanyalah sebagian kecil dari yang akan diterimanya besok di akhirat kelak.
Tetapi banyak manusia bahkan umat islam yang tidak menyadari hal itu. Mereka lupa bahwa hidup di dunia adalah ujian. Ujian yang harus dihadapi. Yang hasilnya akan berbuah di kehidupan akhirat. Orang yang lalai justru akan menjadikan aktivitas hidupnya tertuju dan mengarah pada dunia. Seolah dunia akan membawanya pada keabadian hidup.
Orang seperti itu akan senantiasa disibukkan oleh kesibukan mengurus dan mencari dunia. Ia lupa siapa dirinya yang sebenarnya. Ia tidak mengetahui hakikat kehidupan di dunia. Ia tidak mengenal jalan sesungguhnya yang harus ditempuh untuk mengantarkannya pada keabadian hidup.
Karenanya, bagi setiap diri hendaknya selalu merenungi dan menjawab pertanyaan dari mana dia berasal, di mana dia saat ini dan akan menuju kemana akhir dirinya.
Sebenarnya tidaklah sulit menjawab ketiga pertanyaan itu. Darimana dia berasal. Al Quran telah menjelaskan darimana manusia itu berasal. Manusia adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah dengan sebagus-bagusnya bentuk. Tercipta dari setetes air mani yang menjijikkan jika dilihat.
Efek kesadaran akan hal ini seharusnya menjadikan manusia bersikap tawadhu' rendah hati dan tidak sombong. Kemudian setelah hal itu dia sadari, berikutnya dia harus mengetahu mengapa Allah menciptakannya. Pertanyaan inipun sudah dijelaskan oleh Allah. Bahwa setiap manusia yang lahir ke bumi ini hakikatnya adalah untuk beribadah kepada-Nya.
Kesadaran akan hal ini akan memotivasi manusia memahami makna ibadah. Kemudian meralisasikan ibadah itu pada setiap desah nafas hidupnya. Jalannya hidupnya selalu fokus pada ibadah. Pikirannya, perkataannya dan perbuatannya selalu mengarah ke sana. Ketika ia berjalan, selalu dalam rangka beribadah. Ketika dia bekerja selalu ibadah yang menjadi tujuannya. Ketika dia menikah, ibadah tujuannya. Intinya, tidak ada dari satu detik pun dari hidupnya kecuali dalam rangka beribadah kepada Allah.
Mengapa harus berlaku demikian? Ya, karena ibadah adalah hakikat penciptaannya. Ibadah adalah kehidupannya. Ia menyadari pula bahwa jika ada satu desahan nafas hidupnya tidak bernilai ibadah pasti bernilai maksiat kepada Penciptanya. Dan imbalan dari setiap kemaksiatan yang dilakukannya adalah kesengsaraan dan penderitaan hidup besok ketika di akhirat, sebuah tempat yang ia tuju sebagai tempat persinggahan terakhirnya. Ya, surga atau neraka sebagai persinggahan terakhirnya dan itu sebanding dengan amal ibadahnya ketika di dunia. Akankan kita menyia-nyiakan 24 jam waktu yang Allah berikan kepada kita setiap harinya? Semoga Allah selalu membimbing langkah kita dalam menuju ridlo-Nya.
Hal yang perlu diyakini selanjutnya adalah bahwa kematian bukanlah akhir dari segalanya. Kematian justru pintu gerbang memasuki kehidupan yang sesungguhnya, kehidupan yang abadi yakni kehidupan di akhirat. Ngerinya, hanya ada satu kemungkinan diantara dua yang akan dihadapi manusia ketika sudah memasuki kehidupan akhirat, yakni kebahagiaan atau penderitaan. Satu diantara dua itu pasti akan dialami manusia.
Kebahagiaan atau kesengsaraan hidup di akhirat itu ditentukan oleh perbuatan kita sewaktu di dunia. Karenanya dunia bagi seorang mukmin adalah ladang untuk menanam kebaikan dan ibadah yang nantinya akan dipanen ketika di akhirat. Kalau toh ibadah yang dilakukan memberi efek kebahagiaan itu hanyalah sebagian kecil dari yang akan diterimanya besok di akhirat kelak.
Tetapi banyak manusia bahkan umat islam yang tidak menyadari hal itu. Mereka lupa bahwa hidup di dunia adalah ujian. Ujian yang harus dihadapi. Yang hasilnya akan berbuah di kehidupan akhirat. Orang yang lalai justru akan menjadikan aktivitas hidupnya tertuju dan mengarah pada dunia. Seolah dunia akan membawanya pada keabadian hidup.
Orang seperti itu akan senantiasa disibukkan oleh kesibukan mengurus dan mencari dunia. Ia lupa siapa dirinya yang sebenarnya. Ia tidak mengetahui hakikat kehidupan di dunia. Ia tidak mengenal jalan sesungguhnya yang harus ditempuh untuk mengantarkannya pada keabadian hidup.
Karenanya, bagi setiap diri hendaknya selalu merenungi dan menjawab pertanyaan dari mana dia berasal, di mana dia saat ini dan akan menuju kemana akhir dirinya.
Sebenarnya tidaklah sulit menjawab ketiga pertanyaan itu. Darimana dia berasal. Al Quran telah menjelaskan darimana manusia itu berasal. Manusia adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah dengan sebagus-bagusnya bentuk. Tercipta dari setetes air mani yang menjijikkan jika dilihat.
Efek kesadaran akan hal ini seharusnya menjadikan manusia bersikap tawadhu' rendah hati dan tidak sombong. Kemudian setelah hal itu dia sadari, berikutnya dia harus mengetahu mengapa Allah menciptakannya. Pertanyaan inipun sudah dijelaskan oleh Allah. Bahwa setiap manusia yang lahir ke bumi ini hakikatnya adalah untuk beribadah kepada-Nya.
Kesadaran akan hal ini akan memotivasi manusia memahami makna ibadah. Kemudian meralisasikan ibadah itu pada setiap desah nafas hidupnya. Jalannya hidupnya selalu fokus pada ibadah. Pikirannya, perkataannya dan perbuatannya selalu mengarah ke sana. Ketika ia berjalan, selalu dalam rangka beribadah. Ketika dia bekerja selalu ibadah yang menjadi tujuannya. Ketika dia menikah, ibadah tujuannya. Intinya, tidak ada dari satu detik pun dari hidupnya kecuali dalam rangka beribadah kepada Allah.
Mengapa harus berlaku demikian? Ya, karena ibadah adalah hakikat penciptaannya. Ibadah adalah kehidupannya. Ia menyadari pula bahwa jika ada satu desahan nafas hidupnya tidak bernilai ibadah pasti bernilai maksiat kepada Penciptanya. Dan imbalan dari setiap kemaksiatan yang dilakukannya adalah kesengsaraan dan penderitaan hidup besok ketika di akhirat, sebuah tempat yang ia tuju sebagai tempat persinggahan terakhirnya. Ya, surga atau neraka sebagai persinggahan terakhirnya dan itu sebanding dengan amal ibadahnya ketika di dunia. Akankan kita menyia-nyiakan 24 jam waktu yang Allah berikan kepada kita setiap harinya? Semoga Allah selalu membimbing langkah kita dalam menuju ridlo-Nya.
0 Comments :
Posting Komentar