Jakarta - Dua kandidat di Pilgub DKI 2017 sudah saling menantang melakukan pembuktian harta terbalik, yakni kandidat petahana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan kandidat Sandiaga Uno. Namun kandidat Yusril Ihza Mahendra menegaskan, pembuktian harta terbalik sebagaimana yang dimaksudkan Ahok tak diatur dalam Undang-undang.
Soal pembuktian harta terbalik ini, Ahok menyandarkan pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan Ratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) Melawan Korupsi. Dia usul, bila calon gubernur gagal melewati mekanisme pembuktian harta terbalik, maka calon yang bersangkutan bisa didiskualifikasi.
"Konvensi itu saya yang menandatangani di Markas Besar PBB bersama Kofi Annan," kata Yusril seraya tertawa, saat berbincang, Kamis (15/7/2016). Yusril menandatangani konvensi itu pada 18 Desember 2003, saat dia menjabat Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.
Ahok sendiri, belakangan, memang memilih menunggu DPR untuk mengakomodir pembuktian harta terbalik dalam Undang-undang Pilkada sebelum merealisasikan idenya. Kembali ke Yusril, dia memandang soal ide pembuktian terbalik adalah perkara di meja hijau, bukan di luar meja hijau.
"Prinsipnya, pembuktian terbalik hanya ada dalam sidang pengadilan dan harus diatur dalam hukum acara pidana. Tidak bisa digunakan di luar itu, apalagi (digunakan) sembarangan," kata Yusril.
Bila merujuk pada konvensi PBB melawan korupsi yang diratifikasi Indonesia, termuat soal prinsip penanganan korupsi di seluruh dunia. Memang, Yusril mengakui, ada soal pembuktian terbalik yang termuat dalam konvensi tersebut.
"Tapi belum dimasukkan ke dalam hukum acara pidana kita. Yang ada baru dalam UU Tindak Pidana Pencucian Uang," kata Yusril.
Pembuktian terbalik yang dimaskud adalah mekanisme di pengadilan. Untuk perbandingan, pembuktian yang normal adalah pembuktian yang dilakukan oleh jaksa, namun pembuktian terbalik adalah pembuktian yang dibebankan pada terdakwa. Mekanisme seperti ini bisa berjalan hanya dalam konteks pengadilan.
"Jadi apa yang dimaksud Ahok dengan 'pembuktian harta terbalik'? Siapa yang harus menuduh? Sembarang orang dan kapan saja dia mau nuduh? Bukan seperti itu. Pembuktian terbalik ada di sedang pengadilan," kata Yusril.
Dalam jalannya sidang pengadilan, Jaksa Penuntut Umum-lah yang mengemukakan tuduhan dalam surat dakwaan dan terdakwa akan membuktikan apa yang Jaksa Penuntut Umum tuduhkan itu. Begitulah mekanisme pembuktian terbalik. Lalu bagaimana bila pembuktian terbalik dikontekstualisasikan untuk membuktikan harta yang dimiliki kandidat Pilkada, di luar arena persidangan?
"Siapa yang wajib menyusun surat tuduhan atau dakwaan? Sembarang orang dan menuduh seenaknya dan sekenanya? Jaksa ketika menyusun dakwaan itu sudah melalui tahapan penyelidikan, memeriksa saksi-saksi dan seterusnya. Kalau sembarang orang boleh nuduh, kacau dunia ini," tutur Yusril sambil tertawa.
(dnu/dnu)(sumber: detik.com)
Soal pembuktian harta terbalik ini, Ahok menyandarkan pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan Ratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) Melawan Korupsi. Dia usul, bila calon gubernur gagal melewati mekanisme pembuktian harta terbalik, maka calon yang bersangkutan bisa didiskualifikasi.
"Konvensi itu saya yang menandatangani di Markas Besar PBB bersama Kofi Annan," kata Yusril seraya tertawa, saat berbincang, Kamis (15/7/2016). Yusril menandatangani konvensi itu pada 18 Desember 2003, saat dia menjabat Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.
Ahok sendiri, belakangan, memang memilih menunggu DPR untuk mengakomodir pembuktian harta terbalik dalam Undang-undang Pilkada sebelum merealisasikan idenya. Kembali ke Yusril, dia memandang soal ide pembuktian terbalik adalah perkara di meja hijau, bukan di luar meja hijau.
"Prinsipnya, pembuktian terbalik hanya ada dalam sidang pengadilan dan harus diatur dalam hukum acara pidana. Tidak bisa digunakan di luar itu, apalagi (digunakan) sembarangan," kata Yusril.
Bila merujuk pada konvensi PBB melawan korupsi yang diratifikasi Indonesia, termuat soal prinsip penanganan korupsi di seluruh dunia. Memang, Yusril mengakui, ada soal pembuktian terbalik yang termuat dalam konvensi tersebut.
"Tapi belum dimasukkan ke dalam hukum acara pidana kita. Yang ada baru dalam UU Tindak Pidana Pencucian Uang," kata Yusril.
Pembuktian terbalik yang dimaskud adalah mekanisme di pengadilan. Untuk perbandingan, pembuktian yang normal adalah pembuktian yang dilakukan oleh jaksa, namun pembuktian terbalik adalah pembuktian yang dibebankan pada terdakwa. Mekanisme seperti ini bisa berjalan hanya dalam konteks pengadilan.
"Jadi apa yang dimaksud Ahok dengan 'pembuktian harta terbalik'? Siapa yang harus menuduh? Sembarang orang dan kapan saja dia mau nuduh? Bukan seperti itu. Pembuktian terbalik ada di sedang pengadilan," kata Yusril.
Dalam jalannya sidang pengadilan, Jaksa Penuntut Umum-lah yang mengemukakan tuduhan dalam surat dakwaan dan terdakwa akan membuktikan apa yang Jaksa Penuntut Umum tuduhkan itu. Begitulah mekanisme pembuktian terbalik. Lalu bagaimana bila pembuktian terbalik dikontekstualisasikan untuk membuktikan harta yang dimiliki kandidat Pilkada, di luar arena persidangan?
"Siapa yang wajib menyusun surat tuduhan atau dakwaan? Sembarang orang dan menuduh seenaknya dan sekenanya? Jaksa ketika menyusun dakwaan itu sudah melalui tahapan penyelidikan, memeriksa saksi-saksi dan seterusnya. Kalau sembarang orang boleh nuduh, kacau dunia ini," tutur Yusril sambil tertawa.
(dnu/dnu)(sumber: detik.com)
0 Comments :
Posting Komentar