“Pokoknya kita mesti cerai hari ini,” tukas sang istri kepada suaminya. “Kembalikan uang saya, saya tidak rela dengan barang cacat seperti ini,” sahut pembeli kepada penjual.
“Tok..tok..tok..” suara palu diketuk, hakim memutuskan bahwa si fulan bin fulan tersangka kasus pendinginan uang… Itulah gambaran seabreg kasus yang sering dijumpaidi negri kita ini, disebabkan karena ketidakjujuran dalam mengemban amanah, bagaimanakah Islam menilai kejujuran..!
Sejatinya seorang muslim adalah pengemban risalah dalam kehidupan. Oleh karenanya hendaklah bermuamalah dengan akhlaq yang mulia nan tinggi, dengannya niscaya jelaslah kemuliaan seorang muslim dari yang lainnya.
Di antara akhlaq mulia yang semestinya menghiasi seorang muslim, namun kerap ditinggalkan, padahal dengannyalah seseorang merasakan hakikat cinta, dengan nya pula terbangun persahabatan yang sejati nan diridhoi adalah kejujuran, jujur dalam berkata dan beramal. Kejujuran itu pulalah yang akan menghantarkankan kepada kehidupan harmonis yang berakhir di jannatullah.
Namun begitulah manusia, terkadang amalnya tidak sejalan dengan fitrah yang salimah (lurus)., Dasyatnya ketidakjujuran saat ini justru sangat diinginkan sampai-sampai manusia di dunia ini membutuhkan satu hari untuk menghalalkan kebohongan. Ya!.. tanggal 01 April dunia mengenalnya dengan [April Fools Day] yang di Indonesia akrab dikenal dengan April Mop [hari penghalalan berbohong] innalillahi wainna ilaihi rajiun! Inilah salah satu bentuk pembatalan syari’at yang sejalan dengan fitrah, sungguh agama Islam yang hanif ini memerintahkan hambanya untuk jujur, dan meninggalkan bohong.
Allah Ta’ala berfirman, artinya, “Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan bersamalah kamu bersama orang yang benar [jujur]” (QS. at-Taubah:119), Dalam ayat yang lain, “Agar Allah memberikan balasan kepada yang jujur karena kejujurannya dan mengazab orang munafiq jika ia menghendakinya.” (QS. al-ahzab: 24)
Syaikh al-utsaimin rahimahullah berkata, “Itu semua menunjukkan bahwasanya kejujuran adalah perkara yang mulia dan akan mendapat balasan dari Allah, oleh karenanya wajiblah bagi kita untuk jujur, terbuka dan tidak menyembunyikan sesuatu karena basa-basi atau berdebat”
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwasanya beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Hendaklah kalian berlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran menghantarkan kepada kebaikan,dan sesungguhnya kebaikan menghantarkan kepada surga, dan apabila seseorang senantiasa berlaku jujur niscaya ia di tulis di sisi Allah Ta’ala sebagai seorang yang jujur, dan janganlah kalian berdusta karena sesungguhnya dusta menghantarkan kepada kejelekan, dan sesungguhnya kejelekan menghantarkan kepeda neraka, dan apabila seseorang senantiasa berlaku dusta niscaya ia di tulis di sisi Allah Ta’ala sebagai seorang pendusta.” (Muttafaqun ‘alaih).
Hakekat Kejujuran
Syaikh al-utsaimin Ta’ala berkata, “Jujur adalah, selarasnya khabar dengan realita, baik berupa perkataan atau perbuatan.” Karenanya, apabila khabar (perkataan) selaras dengan kenyataan maka itulah kejujuran dengan llisan, dan apabila perbuatan badan selaras dengan hati maka itulah kejujuran dengan perbuatan.
Orang yang berbuat riya’, bukanlah orang yang jujur, karena dia menampakkan ketaatan tapi hatinya tidak demikian. Begitu juga orang munafiq, menampakkan keimanan dan menyembunyikan kekufuran. Sedangkan orang musyrik, juga bukan orang yang jujur karena menampakkan ketauhidan dan menyembunyikan peribadatan kepada selain Allah. Sementara itu ahli bid’ah pun bukan termasuk orang yang jujur, karena dia menampakkan keta’atan dan pengikutan kepada rasul akan tetapi dia menyelisihinya.
Maka, dari pemaparan di atas jelaslah akan kewajiban berlaku jujur dalam berbagai segi kehidupan, baik dalam konteks sebagai hamba yang berhubungan dengan sang Khaliq, ataupun dalam konteks sebagaimana layaknya manusia dengan sesamanya, seperti jujur dalam memegang amanah kepemimpinan, dalam jual beli, berumah tangga, berpatner dalam bekerja, baik di instansi pemerintahan ataupun swasta, Bahkan lebih dari itu, dalam canda dan tawapun kita dituntut untuk jujur, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Celakalah bagi orang yang berbicara kemudian berdusta agar manusia tertawa dengannya, maka celakalah kemudian celakalah.” (HR. Ahmad, dihasankan oleh al-Albani).
Dengan kejujuran tersebut tertutuplah pintu kecurangan, penipuan, kecemburuan, prasangka buruk, bahkan KKN sekalipun.
Buah Kejujuran
Orang yang jujur akan mendapat pujian dari Rabb semesta alam, selamat dari sifat munafiq yang selalu berdusta apabila bicara, mendapatkan kepercayaan dari sesamanya, terbentuknya kehidupan yang tentram dan selamat yang tiada penyesalan, Oleh karenanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tinggalkanlah yang membuatmu ragu kepada yang tidak ragu. Sesungguhnya jujur itu ketenangan, dan bohong itu keragu-raguan” (HR. at-tirmizi)
Jujur dalam niat dan lisan akan menghantarkan seseorang ke derajat yang tinggi, yaitu derajat syuhada. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barang siapa meminta kepada Allah mati syahid dengan penuh kejujuran, niscaya Allah menghantarkannya ke derajat syuhada, walaupun dia mati di atas kasurnya.” (HR. Muslim).
Berikut ini salah satu contoh yang nyata tentang buah dari kejujuran; kita dapati dalam kitab tarikh, bahwasanya suatu hari sebagaimana biasanya Umar -Amirul Mu’minin- berjalan di malam hari mengontrol keadaan rakyatnya, hingga sampailah dia di dekat suatu rumah, tanpa disengaja beliau mendengar percakapan antara seorang ibu -penjual susu- dengan anak gadisnya, “Tuangkanlah air ke dalam susu ini,” tukas ibu kepada anak gadisnya. Maka sang gadis pun menjawab dengan penuh tatakrama, “Wahai ibu! bukankah Amirul Mu’minin melarang kita dari perbuatan ini?” Sang ibu pun lantas berkilah, “Bukankah tidak ada seorang pun yang mengetahui perbuatan ini? Apalagi Amirul Mu’minin!” Sang gadis pun berusaha meyakinkan sang ibu, “Wahai ibu!, kalaulah seandainya Amirul Mu’minin tidak mengetahui, bukankah Rabbnya Amirul mukminin mengetahui.” Lantas sang ibu pun terdiam. Maka Umar kaget dan bahagia, lantas ia bergegas menuju rumahnya dan menawarkan anaknya untuk menikahi gadis tersebut. Maka dinikahilah anak tersebut oleh ‘Ashim bin umar dan terlahirlah dari pasangan ini seorang anak perempuan yang kelak dinikahi oleh Abdul Malik bin Marwan, dan terlahirlah dari pasangan ini seorang alim yang disebut-sebut sebagai khalifah yang kelima sebagai buah dari kejujuran, dialah Amirul Mu’minin Umar bin Abdul aziz, khalifah yang alim, bertaqwa, zuhud dan adil.
(Wallohu a’lam bishshowwab)
Sumber:www.alsowah.or.id
“Tok..tok..tok..” suara palu diketuk, hakim memutuskan bahwa si fulan bin fulan tersangka kasus pendinginan uang… Itulah gambaran seabreg kasus yang sering dijumpaidi negri kita ini, disebabkan karena ketidakjujuran dalam mengemban amanah, bagaimanakah Islam menilai kejujuran..!
Sejatinya seorang muslim adalah pengemban risalah dalam kehidupan. Oleh karenanya hendaklah bermuamalah dengan akhlaq yang mulia nan tinggi, dengannya niscaya jelaslah kemuliaan seorang muslim dari yang lainnya.
Di antara akhlaq mulia yang semestinya menghiasi seorang muslim, namun kerap ditinggalkan, padahal dengannyalah seseorang merasakan hakikat cinta, dengan nya pula terbangun persahabatan yang sejati nan diridhoi adalah kejujuran, jujur dalam berkata dan beramal. Kejujuran itu pulalah yang akan menghantarkankan kepada kehidupan harmonis yang berakhir di jannatullah.
Namun begitulah manusia, terkadang amalnya tidak sejalan dengan fitrah yang salimah (lurus)., Dasyatnya ketidakjujuran saat ini justru sangat diinginkan sampai-sampai manusia di dunia ini membutuhkan satu hari untuk menghalalkan kebohongan. Ya!.. tanggal 01 April dunia mengenalnya dengan [April Fools Day] yang di Indonesia akrab dikenal dengan April Mop [hari penghalalan berbohong] innalillahi wainna ilaihi rajiun! Inilah salah satu bentuk pembatalan syari’at yang sejalan dengan fitrah, sungguh agama Islam yang hanif ini memerintahkan hambanya untuk jujur, dan meninggalkan bohong.
Allah Ta’ala berfirman, artinya, “Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan bersamalah kamu bersama orang yang benar [jujur]” (QS. at-Taubah:119), Dalam ayat yang lain, “Agar Allah memberikan balasan kepada yang jujur karena kejujurannya dan mengazab orang munafiq jika ia menghendakinya.” (QS. al-ahzab: 24)
Syaikh al-utsaimin rahimahullah berkata, “Itu semua menunjukkan bahwasanya kejujuran adalah perkara yang mulia dan akan mendapat balasan dari Allah, oleh karenanya wajiblah bagi kita untuk jujur, terbuka dan tidak menyembunyikan sesuatu karena basa-basi atau berdebat”
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwasanya beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Hendaklah kalian berlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran menghantarkan kepada kebaikan,dan sesungguhnya kebaikan menghantarkan kepada surga, dan apabila seseorang senantiasa berlaku jujur niscaya ia di tulis di sisi Allah Ta’ala sebagai seorang yang jujur, dan janganlah kalian berdusta karena sesungguhnya dusta menghantarkan kepada kejelekan, dan sesungguhnya kejelekan menghantarkan kepeda neraka, dan apabila seseorang senantiasa berlaku dusta niscaya ia di tulis di sisi Allah Ta’ala sebagai seorang pendusta.” (Muttafaqun ‘alaih).
Hakekat Kejujuran
Syaikh al-utsaimin Ta’ala berkata, “Jujur adalah, selarasnya khabar dengan realita, baik berupa perkataan atau perbuatan.” Karenanya, apabila khabar (perkataan) selaras dengan kenyataan maka itulah kejujuran dengan llisan, dan apabila perbuatan badan selaras dengan hati maka itulah kejujuran dengan perbuatan.
Orang yang berbuat riya’, bukanlah orang yang jujur, karena dia menampakkan ketaatan tapi hatinya tidak demikian. Begitu juga orang munafiq, menampakkan keimanan dan menyembunyikan kekufuran. Sedangkan orang musyrik, juga bukan orang yang jujur karena menampakkan ketauhidan dan menyembunyikan peribadatan kepada selain Allah. Sementara itu ahli bid’ah pun bukan termasuk orang yang jujur, karena dia menampakkan keta’atan dan pengikutan kepada rasul akan tetapi dia menyelisihinya.
Maka, dari pemaparan di atas jelaslah akan kewajiban berlaku jujur dalam berbagai segi kehidupan, baik dalam konteks sebagai hamba yang berhubungan dengan sang Khaliq, ataupun dalam konteks sebagaimana layaknya manusia dengan sesamanya, seperti jujur dalam memegang amanah kepemimpinan, dalam jual beli, berumah tangga, berpatner dalam bekerja, baik di instansi pemerintahan ataupun swasta, Bahkan lebih dari itu, dalam canda dan tawapun kita dituntut untuk jujur, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Celakalah bagi orang yang berbicara kemudian berdusta agar manusia tertawa dengannya, maka celakalah kemudian celakalah.” (HR. Ahmad, dihasankan oleh al-Albani).
Dengan kejujuran tersebut tertutuplah pintu kecurangan, penipuan, kecemburuan, prasangka buruk, bahkan KKN sekalipun.
Buah Kejujuran
Orang yang jujur akan mendapat pujian dari Rabb semesta alam, selamat dari sifat munafiq yang selalu berdusta apabila bicara, mendapatkan kepercayaan dari sesamanya, terbentuknya kehidupan yang tentram dan selamat yang tiada penyesalan, Oleh karenanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tinggalkanlah yang membuatmu ragu kepada yang tidak ragu. Sesungguhnya jujur itu ketenangan, dan bohong itu keragu-raguan” (HR. at-tirmizi)
Jujur dalam niat dan lisan akan menghantarkan seseorang ke derajat yang tinggi, yaitu derajat syuhada. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barang siapa meminta kepada Allah mati syahid dengan penuh kejujuran, niscaya Allah menghantarkannya ke derajat syuhada, walaupun dia mati di atas kasurnya.” (HR. Muslim).
Berikut ini salah satu contoh yang nyata tentang buah dari kejujuran; kita dapati dalam kitab tarikh, bahwasanya suatu hari sebagaimana biasanya Umar -Amirul Mu’minin- berjalan di malam hari mengontrol keadaan rakyatnya, hingga sampailah dia di dekat suatu rumah, tanpa disengaja beliau mendengar percakapan antara seorang ibu -penjual susu- dengan anak gadisnya, “Tuangkanlah air ke dalam susu ini,” tukas ibu kepada anak gadisnya. Maka sang gadis pun menjawab dengan penuh tatakrama, “Wahai ibu! bukankah Amirul Mu’minin melarang kita dari perbuatan ini?” Sang ibu pun lantas berkilah, “Bukankah tidak ada seorang pun yang mengetahui perbuatan ini? Apalagi Amirul Mu’minin!” Sang gadis pun berusaha meyakinkan sang ibu, “Wahai ibu!, kalaulah seandainya Amirul Mu’minin tidak mengetahui, bukankah Rabbnya Amirul mukminin mengetahui.” Lantas sang ibu pun terdiam. Maka Umar kaget dan bahagia, lantas ia bergegas menuju rumahnya dan menawarkan anaknya untuk menikahi gadis tersebut. Maka dinikahilah anak tersebut oleh ‘Ashim bin umar dan terlahirlah dari pasangan ini seorang anak perempuan yang kelak dinikahi oleh Abdul Malik bin Marwan, dan terlahirlah dari pasangan ini seorang alim yang disebut-sebut sebagai khalifah yang kelima sebagai buah dari kejujuran, dialah Amirul Mu’minin Umar bin Abdul aziz, khalifah yang alim, bertaqwa, zuhud dan adil.
(Wallohu a’lam bishshowwab)
Sumber:www.alsowah.or.id
0 Comments :
Posting Komentar