Udhhiyah adalah sebutan untuk binatang ternak (unta, sapi, atau kambing) yang disembelih pada hari raya Idul Adhha, setelah shalat, dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah l (Taisirul ‘Alam, Hal. 534)
Hukum Udhhiyah
Imam Abu Hanif, Malik, dan Ats-Tsauri berpendapat bahwa udhhiyah hukumnya wajib bagi orang yang memiliki kelonggaran rezeki. Karena Allah telah memerintahkan,
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَٱنۡحَرۡ ٢
”Maka shalatlah pada Rabbmu dan berkurbanlah” (Q.S Al-Kautsar: 2)
Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa udhhiyah hukumnya sunnah muakkadah bagi kaum muslimin yang mampu. Karena keumuman ayat diatas telah diperinci oleh hadits.
Waktu menyembelih hewan kurban: yaitu sejak selesai shalat Idul Adha sampai hari terakhir dari hari tasyriq (hari raya, dan tiga hari berikutnya).
Syarat sah hewan udhhiyah ada tiga;
- Termasuk jenis al-an’am, (ternak) Hewan udhhiyah harus beruapa al-an’am (binatang ternak beruapa unta, sapi, kerbau, kambing, domba... (QS. Al-Hajj: 34). Untuk unta, disyaratkan sudah berumur lima tahun, atau lebih. Sedangkan untuk sapi disyaratkan sudah berumur dua tahun atau lebih, sedangkan untuk kambing disyaratkan sudah berumur satu tahun atau lebih. (Al-Fiqh Al-Muyassar, hal. 193)
- Cukup umur.
Dalil mengenai umur hewan adalah hadits Jabir bahwa Rasulullah n bersabda,
”Kita tidak berudhhiyah kecuali dengan hewan yang yang musinnah, jika hal itu menyulitkan kalian, maka sembelihlah jaz’ah dari kambing.” (HR. Muslim)Musinnah adalah sebutan untuk unta yang berumur lima tahun, atau sapi yang berumur dua tahun. Sedangkan jaz’ah adalah sebutan untuk kambing/domba yang berumur satu tahun. Adapula yang mebedakan antara kambing biasa dengan kambing jenis domba, sehingga mereka berpendapat bahwa jaz’ah adalah sebutan untuk kambing dari domba yang sudah berusia enam bulan atau lebih. Sedangkan kambing biasa disebut jaz’ah jika sudah berusia satu tahun atau lebih. (Al-Mausu’ah Al-Fiqh Al-Islami) - Tidak cacat.
Seekor kambing, sapi atau unta sah untuk udhhiyah satu orang berserta anggota keluarganya yang masih hidup. Bisa pula menyertakan anggota keluarga yang sudah meninggal sebagai penyerta, atau keluarga yang memberikan wasiat untuk udhhiyah sebelum meninggal. Hal ini berdasarkan hadits Abu Ayyub a beliau menceritakan bahwa,
Adapun seekor unta atau sapi boleh untuk tujuh orang, berdasarkan hadits Jabir a beliau menceritakan bahwa,
”Kami berudhhiyah bersama Rasulullah n pada tahun Hudaibiyah berupa seekor unta untuk tujuh orang, dan seekor sapi untuk tujuh orang.” (HR. Muslim)
Apabila hewan tersebut telah diniatkan untuk dikurbankan, maka hewan tersebut tidak boleh dijual dan tidak boleh pula menghibahkannya, kecuali jika ia menggantinya dengan yang lebih baik.
Hewan yang tidak Sah Dijadikan Hewan Udhhiyah
Para ulama sepakat bahwa hewan yang cacat (baik cacat bawaan maupun cacat karena kecelakaan) yang tidak sah dijadikan hewan kurban ada empat kriteria, sebagaimana hadits Al-Barra’ bin ’Azib a bahwa ia mendengar Rasulullah n bersabda,
أَرْبَعٌ لاَ بَجْزِيْنَ فِي اْلأَضَاحِي :اَلْعَوْرَاءُ اْلبَيِّنُ عَوْرُهَا وَالْمَرِيْضَةُ الْبَيِّنُ مَرَضُهَا, وَالْعَرْجَاءُ الْبَيِّنُ ظَلْعُهَا, وَلَا بِالْعَجْفَاءِ الَّتِي لاَتُنْقِي.
“Ada empat macam yang tidak memenuhi syarat dijadikan hewan udhhiyah, yaitu yang buta yang nyata kebutaannya, yang sakit yang nyata sakitnya, yang pincang yang nyata pincangnya, dan yang kurus yang tidak ada tulang sum-sumnya.” (HR. At-Tirmidzi, Abu Dawud dan An-Nasai)
An-Nawawi berkata, “Para ulama sepakat bahwa empat macam cacat (hewan) yang disebutkan dalam hadits Al-Barra’ ini menyebabkan hewan tersebut tidak sah dijadikan hewan udhhiyah. Demikian pula dengan cacat yang semisal dengan empat hal itu, atau yang lebih parah dari yang empat tersebut, seperti hewan yang buta, buntung kakinya...” (Tuhfatul Ahwadzi: 4/150) atau tanduknya patah, daging paha atau punuknya terpotong, atau sebagian besar telinganya terpotong.
Apabila cacat diketahui setelah hewan tersebut sudah ditetapkan sebagai hewan udhhiyah, namun belum disembelih, maka pemiliknya harus menggantinya dengan hewan yang sehat/tidak cacat. Demikian pula apabila seorang menyembelih hewan udhhiyah sementara ia baru mengetahui bahwa hewan tersebut sakit setelah disembelih, maka hal itu belum memadai untuk menggugurkan kewajibannya, karena tujuan berkurban belum terpenuhi.
Adapun cacat ringan semisal, teling sedikit sobek atau bolong, tetap boleh untuk dijadikan hewan udhhiyah, meskipun mencari yang betul-betul sehat dan sempurna lebih utama.
Syariat udhhiyah adalah perintah Allah, maka sudah seharusnya setiap muslim menunaikannya dengan cara sebaik mungkin. Berkaitan dengan adab menyembelih Rasulullah n menasihatkan dalam sabdanya,
”Sesungguhnya Allah menetapkan kebaikan dalam setiap perkara, maka jika kamu membunuh bunuhlah dengan cara yang baik, jika kamu menyembelih, maka sembelihlah dengan cara yang baik pula. Dan hendakseseorang manajamkan pisaunya, dan menenangkan hewan yang akan disembelihnya.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi)
Betapa indah agama ini, sehingga membunuh musuhpun diperintahkan dengan cara yang baik, tidak menyiksa, atau melakukan mutilasi. Demikian pula dengan menyembelih hewan, hendaknya hewan yang akan disembelih ditenangkan, tidak menyiksa, atau memperlakukannya secara kasar, tidak membuatnya setress, menjatuhkan dengan cara yang praktis dan tidak menyebabkan hewan tersiksa. Beberapa contoh hal yang tidak berlaku baik terhadap sembelihan antara lain:
- Menyembelih hewan di tempat yang terlihat oleh hewan yang masih hidup
- Menakut-nakuti hewan dengan golok yang akan dipergunakan menyembelih,
- Memotong-motong daging di dekat hewan udhhiyah yang masih hidup,
- Menjatuhkan hewan dengan cara yang terkesan asal dan menyiksa,
- Menyeret tubuh hewan yang telah dijatuhkan ke tempat penyembelihan, semua itu akan menyebabkan hewan setress sebelum disembelih.
Karenanya, selayaknya kita berlaku baik terhadap hewan sembelihan, antara lain dengan cara
- Menyembelih sapi dan kambing di bagian atas leher,
- Membaringkan hewan di atas lambung kirinya, lalu
- Meletakkan kaki kanan di atas leher hewan tersebut, kemudian memegang kepalanya dan menyembelihnya dengan membaca,
بِسْمِ اللهِ وَاللهُ أَكْبَرُ
“Dengan nama Allah, dan Allah Maha Besar.”Atau membaca,
بِسْمِ اللهِ وَاللهُ أَكْبَرُ. اَللّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنِّي. اَللّهُمَّ هذَا عَنِّي وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِي
“Dengan nama Allah, dan Allah Maha Besar. Ya Allah, terimalah dariku. Ya Allah, (kurban) ini dariku dan semua anggota keluargaku.”Anas bin Malik a berkata,
ضَحَّى النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ. ذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ وَسَمَّى وَكَبَّرَ وَوَضَعَ رِجْلَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا
“Nabi berkorban dua ekor kibas yang bagus lagi bertanduk. Beliau menyembelih sendiri keduanya. Beliau membaca basmalah dan takbir, dan meletakkan kakinya di atas leher kibas itu.” (Muttafaqun 'alaih)
Berdasarkan hadits ini pula, seseorang disunnahkan untuk menyembelih sendiri hewan udhhiyahnya. Jika ia tidak bisa menyembelih, hendaklah ia menyaksikan (penyembelihannya). Hendaknya menyebutkan dari siapa hewan kurban itu saat akan menyembelih. Sembelihan dihukumi halal apabila pisau sudah memutuskan hulqum, tenggorokan, dan dua urat leher atau salah satu dari keduanya, serta mengalirkan darah.
Berkurban mempunyai keutamaan yang luar biasa, karena merupakan bentuk taqarrub kepada Allah Ta’ala, menyenangkan keluarga, memberi manfaat kepada orang-orang fakir, dan menyambung tali silaturrahim serta hubungan antar tetangga.
Peruntukan daging hewan udhhiyah disunnahkan membagi daging hewan kurban menjadi tiga bagian, sebagian untuk dimakan, untuk dihadiahkan dan sebagaian lagi untuk disedekahkan kepada orang-orang fakir. Pembagian tidak harus sama antara satu dengan yang lain, yang terpenting adalah tercapainya maslahat bagi umat dan tidak menimbulkan fitnah.
Dilarang memberikan upah kepada tukang jagal menggunakan bagian dari hewan udhhiyah, baik kepala, kulit ataupun dagingnya. Hendaknya upah diambilkan dari pemilik hewan udhhiyah, sebagaimana hadits Ali bin Abi Thalib
أَمَرَنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُودِهَا وَأَجِلَّتِهَا وَأَنْ لاَ أُعْطِىَ الْجَزَّارَ مِنْهَا قَالَ نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا.
“Rasulullah menyuruhku untuk mengurusi unta (udhhiyah)nya. Beliau juga menyuruhku agar aku menyedekahkan dagingnya, kulitnya, dan tulangnya. Dan Rasulullah melarangku memberikan bagian dari hewan udhhiyah itu kepada tukang jagal. Akan tetapi kami memberinya upah dari harta kami.” (Muttafaq alaih)
Para ulama berbeda pendapat memahami hadits ini; sebagian ulama menyimpulkan bahwa berdasarkan hadits ini, tukang jagal sama sekali tidak boleh diberi daging hewan udhhiyah, baik sebagai upah maupun sebagai sedekah. Karena larangan dalam hadits ini bersifat mutlaq. Demikian pendapat Al-Qurthubi. Hadits ini juga dijadikan sebagai dalil larangan menjual bagian dari hewan udhhiyah. (Fathul Bari: 5/404)
Adapula ulama yang merinci; Imam An-Nawawi berkata, “Tidak diperbolehkan memberikan bagian dari tubuh hewan udhhiyah kepada jagal sebagai upah karena jasanya sebagai jagal. Sebab mengupah tukang jagal dengan bagian dari hewan udhhiyah atas pekerjaannya sama dengan jual-beli, padahal menjual bagian dari hewan udhhiyah adalah dilarang. Inilah pendapat madzhab kami (Syafi’iyah), dan demikianlah pendapat Atha’, An-Nakha’i, Malik, Ahmad dan Ishaq.” (Syarh Shahih Muslim: 4/453)
Menjelaskan hadits di atas Al-Baghawi berkata, “Yang dilarang adalah mengupah tukang jagal menggunakan bagian dari hewan udhhiyah, adapun jika jagal sudah diberi upah (dari sumber yang lain), kemudian dia juga diberi bagian daging sebagai sedekah, maka diperbolehkan. (Fathul Bari: 5/404)
Menjual Kulit
Menjual kulit hewan udhhiyah termasuk dilarang oleh As-Sunnah. Sebagaimana hadits Ali bin Abi Thalib beliau menceritakan bahwa,
بَعَثَنِى النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - فَقُمْتُ عَلَى الْبُدْنِ ، فَأَمَرَنِى فَقَسَمْتُ لُحُومَهَا ، ثُمَّ أَمَرَنِى فَقَسَمْتُ جِلاَلَهَا وَجُلُودَهَا
”Aku diutus untuk mengurus unta udhhiyah milik Rasulullah n. Dan beliau memerintahkan kepadaku untuk membagi dagingnya, kemudian beliau menyuruhku lagi untuk membagikan jeroan dan kulitnya.” (Muttafaq alaih)
لَا تَبِيعُوا لُحُومَ الْأَضَاحِيِّ وَالْهَدْيِ وَتَصَدَّقُوا وَكُلُوا وَاسْتَمْتِعُوا بِجُلُودِهَا وَلَا تَبِيعُوا وَإِنْ أُطْعِمْتُمْ مِنْ لُحُومِهَا فَكُلُوا إِنْ شِئْتُمْ
“Janganlah kalian menjual daging hewan udhhiyah, dan hadyu. Tapi sedekahkanlah, makanlah, dan manfaatkanlah kulitnya dan janganlah kalian menjualnya. Dan jika kalian diberi makan dagingnya, maka makanlah jika kalian mau.” (HR. Ahmad)
Memang ada riwayat dari Ibnu Mudzir dari Ibnu Umar, Ahmad dan Ishaq yang menyebutkan bahwa mereka berpendapat, tidak mengapa menjual kulitnya lalu menyedekahkan uang hasil penjualannya.
Sedangkan Abu Tsaur memberi rukhshah untuk menjual kulitnya. An-Nakha’i dan Al-Auza’i berpendapat, tidak mengapa menjual kulit hewan udhhiyah lalu hasilnya dipergunakan untuk membeli ember, parang atau kampak dan timbangan dan semacamnya untuk perlengkapan umum. Namun pendapat ini menyelisihi As-Sunnah” (Syarh Shahih Muslim: 4/453)
Panitia Udhhiyah
Diperbolehkan mewakilkan penyembelihan dan pengerjaan hewan udhhiyah kepada orang lain/panitia, sebagaimana hadits Ali di atas. Pertanyaannya, bolehkan panitia yang mengurusi hewan udhhiyah mendapatkan bagian lebih banyak daripada penerima pada umumnya karena mereka bertindak sebagai panitia?
Jawab, panitia hanya berposisi sebagai wakil yang membantu pemilik hewan udhhiyah, sehingga hak pantia sebatas sebagai ’pembantu’ bukan pemilik. Maka pantia tidak diperbolehkan mengambil imbalan dari berupa daging hewan udhhiyah karena jasanya tersebut. Jika panitia merasa berhak mendapatkan bagian lebih, atau mereka diberi bagian lebih disebabkan karena mereka berstatus sebagai panitia, maka kelebihan bagiannya dihukumi sebagai ujrah, alias upah atas jasanya mengurusi hewan udhhiyah tersebut, dan hal itu dilarang oleh syariat, sebagaimana dilarangnya mengupah tukang jagal dengan bagian dari hewan udhhiyah.
Larangan bagi Orang yang Akan Berudhhiyah
Bagi orang ingin berkurban, diharamkan memotong rambut, kulit, atau kukunya sejak sepuluh hari pertama dari bulan Dzulhijjah. Jika ia melanggar salahsatu dari hal itu, maka ia berkewajiban meminta ampun kepada Allah l, dan tidak ada kewajiban fidyah atasnya.
Dari Ummu Salamah r.a bahwa Nabi n bersabda,اِذَا دَخَلَتِ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلاَ يَمَسَّ مِنْ شَعْرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا.“Apabila telah masuk sepuluh (hari pertama Bulan Dzulhijjah), dan seseorang darimu ingin berkurban, maka janganlah ia memotong sedikitpun dari rambut maupun kulitnya.” (HR. Muslim)
0 Comments :
Posting Komentar