Oleh : Taufik Anwar
Hijrah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallambersama kaum muslimin  dari Makkah menuju Madinah menandai dua batas periode perjuangan Islam,  yaitu periode Makkah dan periode Madinah dan merupakan tonggak  kebangkitan Islam. Hijrah tidak hanya mengakhiri segala penderitaan yang  selama lebih dari 10 tahun ditimpakan durjana Quraisy atas kaum  muslimin, tapi juga awal dimulainya babak baru kehidupan kaum muslimin.  Ditinjau dari berbagai sisi dan dimensi, momentum ini mengandung selaksa  hikmah yang layak kita gali, untuk kemudian kita implementasikan dalam  kehidupan.
MOMENTUM EMAS
12 tahun berlalu, dakwah di Makkah seakan belum menampakkan hasil  signifikan bagi prospek  Islam kedepan. Hal ini bukan tanpa sebab,  ibarat benteng, pranata sosial dan ideologi masyarakat jahiliyah  setempat bagai tumpukan batu keras nan rapat. Kungkungan paradigma  jahiliyah mengurat akar sedemikian kuat. Elit masyarakat jahiliyah yang  dikenal otoriter, penindas, kapitalis, dan penyembah materi justru  menjadi referensi pemikiran dan rujukan segala keputusan dan  kebijaksanaan rakyat Makkah. Konstruksi masyarakat semacam ini kian hari  kian bertambah buruk dan menjelma menjadi benteng raksasa penghadang  dakwah dengan aura kekuatan hitam yang sangat pekat. Benar-benar seperti  rimba belantara ganas yang siap membinasakan siapapun yang memasukinya.  Menyerang frontal dengan adu fisik tentu bukan pilihan tepat untuk saat  itu, mengingat kekuatan pengikut risalah sangat tak berbanding dengan  kekuatan musuh.
Disisi lain, seruan yang dibawa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi  wasallam terlalu kontradiktif dengan pola pemikiran jahiliyah Makkah  secara prinsipal. Jika dalam perspektif jahiliyah, mitos, nenek moyang,   sikap permissif dan kapitalisme demikian diagungkan, tapi dalam Islam  semua itu tak ubahnya sampah dan kerak kotor yang mesti segera di  lenyapkan. Tak ayal lagi, kontradiksi ini mengundang respon dan counter  keras terutama dari kalangan elit. Tentu saja, karena kepentingan  merekalah yang sering jadi bulan-bulanan dan dirugikan. Lalu, respon  tersebut diluapkan dalam berbagai protes mulai dari ungkapan  ketidaksetujuan dengan cara halus hingga yang kasar berupa teror mental  bahkan fisik, intimadasi, penyiksaan, pemboikotan, hingga pembantaian  sadis terhadap para pengikut risalah Islam. Tekanan demi tekanan terus  dilancarkan untuk menggencet kaum muslimin secara mental maupun fisik.  Hal ini dirasakan oleh hampir setiap pribadi yang mengikuti seruan ini, hatta  oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallamsendiri. Gambaran kongkrit betapa  kesengsaraan yang menimpa begitu menyakitkan, dapat kita lihat dari  ucapan salah seorang sahabat, sambil bersandar pada dinding Ka’bah  mulutnya berucap, “mata nasrullah” ,  “Bilakah pertolongan  Allah kan datang -mengakhiri nestapa ini-? . Ucapan ini melukiskan  betapa beban derita yang harus mereka tanggung amatlah berat dan  menyiratkan kelelahan yang amat sangat. Mereka ingin segera mentas dari kubangan derita menuju kehidupan damai dan penuh keadilan dibawah naungan Islam.
Demi melihat realita ini, prospek dakwah Islam di Makkah akan sulit  berkembang dan berjalan sesuai dengan dimensi yang diharapkan. Perlu  solusi tepat agar bisa keluar dari jerat jaring setan ini. Maka Nabi  shallallahu ‘alaihi wasallampun segera menyusun strategi baru. Beliau  mulai memerintahkan sebagian sahabatnya untuk pergi meninggalkan Makkah  mencari tempat yang lebih aman. Perjalanan hijrah pun dimulai, Habasyah  (Etiopia) menjadi pilihan dengan berbagai pertimbangan. Selanjutnya,  Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri mulai berusaha keras melakukan  berbagai hal untuk mencari tempat yang paling layak untuk berhijrah.  Beliau menyadari, Habasyah bukanlah tempat yang strategis untuk  pengembangan Islam ke depan. Karena selain terlalu jauh, negeri itu juga  telah mapan secara kenegaraan dan ideologi. Setelah adanya perjanjian  Baiatul Aqabah dan melewati berbagai pertimbangan, analisa dan juga  bimbingan Ilahi tentunya, pilihan jatuh atas kota Yatsrib. Dan benarlah,  disinilah kaum muslimin bisa benar-benar merasakan udara segar  kebebasan dalam menjalankan agamanya, dari sini pulalah Islam bangkit  dan menjadi sebuah negeri yang berdaulat.
Hijrah sebagai kewajiban
Penggalan sejarah perjuangan ini menjadi satu hal penting untuk  dikaji. Hijrah yang secara etimologi berarti berpindah dari satu tempat  ke tempat lain, menjadi strating point beridirinya daulah  Islam. Suatu bentuk pemerintahan dengan sistem perundangan Islam yang  mampu melindungi dan menjaga hak-hak setiap muslim  serta  mensejahterakan kehidupan mereka. Sehingga Madinah atau Yatsrib menjadi  tempat pertama di muka bumi yang tegak diatasnya daulah umat Muhammad  shallallahu ‘alaihi wasallam .
Demikian urgennya hijrah kala itu, hijrah menjadi kewajiban bagi  setiap muslim yang mampu, pria atau wanita, muda maupun tua. Muslim yang  mampu tapi enggan berhijrah  demi menyelamatkan diennya, mendapat  predikat buruk dari langit dengan “ dzolimu nafsihi”.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلاَئِكَةُ ظَالِمِي  أَنفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي  اْلأَرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا  فِيهَا فَأُوْلاَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَآءَتْ مَصِيرًا
            Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan  malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat  bertanya:”Dalam keadaan bagaimana kamu ini”. Mereka menjawab:”Adalah  kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)”. Para malaikat  berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah  dibumi itu”. Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu  seburuk-buruknya tempat kembali, (QS. An-Nisaa’: 97)
Lebih luas lagi, Ibnu Katsier menjelaskan, ayat ini berlaku umum pada  setiap muslim yang tetap memilih tinggal bersama orang musyrik padahal  ia tidak memiliki ruang gerak untuk menjalankan diennya secara leluasa  sedang ia mampu untuk berhijrah. Dengan begitu, berdasarkan ayat ini ia  menjadi orang yang mendzalimi diri sendiri dan telah melanggar aturan  syar’i.[1]
Senada dengan beliau, Imam Ibnu Hajar menyatakan, seorang muslim yang  mampu berhijrah dari satu negeri yang didalamnya dirinya terpasung dari  menjalankan kewajiban agamanya maka wajib baginya untuk berhijrah.[2]
Kita perhatikan, ketegasan hukum ini memiliki alasan yang kuat. Lebih  memilih tinggal bersama kaum kafir dengan segala keterbatasan dalam  menjalankan agama daripada pergi bersama kaum muslimin untuk menuju  hidup yang lebih baik jelas merupakan pilihan yang salah dan merupakan  bentuk kezaliman pada diri sendiri. Dan pilihan ini tidak memiliki akar  sebab lain selain faktor yang bersifat duniawi. Entah karena enggan  berpisah dengan kerabat, harta, atau faktor lain. Tidak mudah memang  meninggalkan negeri dimana seseorang lahir, dibesarkan dan terlanjur  mencintai barbagai hal yang ada padanya. Terutama bagi mereka yang tidak  mendapat tekanan berarti dari kaum kafir.Tapi seorang muslim akan  selalu mendahulukan maslahat dien dan akhiratnya di atas kepentingan  lain. Disamping itu, tinggal bersama kaum kafir berkonsekwensi pada  hilangnya jaminan keamanan yang menyangkut keamanan jiwa dan harta. Jika  terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, kaum muslimin yang seharusnya  memiliki kewajiban membantu telah berlepas tangan, karena Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wasallambersabda :
 ((برئت الذّمّة ممّن أقام مع المشركين)).
Artinya: “Saya berlepas diri tentang jaminan bagi siapa yang  bertempat tinggal bersama orang-orang musyrik di negeri mereka.”   (HR.  Thabrany, Shahih Jami’us Shaghir no. 2818)
 ((من جامع المشرك و سكن معه فإنّه مثله)).
            Artinya: “Barangsiapa berkumpul dengan orang musyrik dan  tinggal bersamanya, sesungguhnya ia sama dengannya (orang musyrik).”   (Silsilah as-Shahihah no. 2330)
Dalam konteks kekinian, dimana kekhilafahan telah runtuh dan kaum  muslimin telah kehilangan tempat berlindung dari kezaliman, hijrah masih  tetap relevan dan menjadi satu kewajiban yang harus ditunaikan. Karena  dalam sabdanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallammengatakan :
لا تنقطع الهجرة ما قوتل العدوّ
“Hijrah tidak akan terputus selama musuh masih diperangi.” (HR. Ahmad 5/270, lihat foot note Zaadul Maa’ad 3/123).
Dan adapun maksud dari sabda beliau :
لا هجرة بعد الفتح
“ Tidak ada hijrah setelah fathu (Makkah)”[3], adalah kewajiban hijrah atas orang Islam yang ada di Makkah menjadi gugur setelah Makkah ditaklukkan.
Kendala dilematis aplikasi hijrah
Kendatipun hijrah adalah sebuah kewajiban yang tetap berlaku  sepanjang zaman, tapi realita hari ini berupa tidak adanya daulah Islam  menjadi problem serius yang menghalangi aplikasi hijrah sebagaimana  diatas. Melaksanakan hijrah dalam makananya secara definitif[4]  – untuk saat ini- menjadi hal yang mustahil. Karena realita berbicara,  tak satupun dari negara di dunia yang menerapkan Islam secara utuh dan  murni sebagai sistem pemerintahan dan mampu melindungi  kaum muslimin  dari tindak kezaliman umat lain. Diakui atau tidak, Islam yang  diterapkan di beberapa negara masih secara parsial dan jauh dari dimensi  yang diinginkan sehingga masih jauh dari layak untuk menjadi sebuah mahjar.
Dr.Muhamad Abdul Qodir Abu Faris Hafidzullah dalam satu tulisannya mengenai hijrah menyatakan, apabila kaum muslimin tidak lagi mempunyai darul hijrah yang  mereka dapat hijrah ke tempat tersebut untuk menikmati kebebasan,  ketenangan, dan kemantapan di dalamnya, maka mereka wajib bekerja keras  dan berjihad untuk mendapatkan darul hijrah agar mereka bisa  hidup dengan Islam di dalamnya. Realisasinya menjadi beban kewajiban  bagi setiap muslim. Tidak berusaha mendapatkan kembali mahjar yang hilang adalah dosa besar yang tidak bisa di hapus kecuali dengan mewujudkan kembali kedaulatan Islam yang runtuh.
Pada intinya, pokok masalahnya adalah ketidak wujudan khilafah Islam  yang berdaulat dan mampu mengayomi seluruh kaum muslimin, menjaga harta  dan jiwa mereka dari berbagai gangguan. Kaum muslimin yang ada diluar  kekhilafahan dapat berhijrah jika mendapat gangguan atau jika  memungkinkan tetap tinggal dengan tekad berdakwah dan menyebarkan Islam  dengan jaminan keamanan harta dan jiwanya. Wujud kekhilafahan yang  seperti ini tidak ngoyoworo atau hanya sebatas idealisme, tapi  yang seperti inilah daulah Islam hakiki sebagaimana yang telah  berlangsung pada periode Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallamhingga  beberapa periode setelahnya.
Untuk menegakkan sebuah daulah Islam, tentu tidak sesedehana merebut  sebuah negara kemudian syariat Islam diterapkan didalamnya. Tanpa adanya  kesadaran akan urgensi kekhilafahan dari masyarakat atau umat Islam  sebagai rakyat, bukan mustahil kekuasaan tersebut akan dihancurkan oleh  rakyat sendiri. Jika daulah yang kita cita-citakan adalah sebuah negara  dengan tatanan Islami sebagaimana yang telah berlaku pada masa keemasan  Islam, maka yang harus dilakukan adalah penyadaran umat untuk kembali  pada agamanya. Menyadarkan mereka akan pentingnya sebuah daulah sebagai  pelindung diri dan dien mereka, dan bahwa pelaksanaan dien tidak akan  menyeluruh dan sempurna tanpa adanya khilafah. Juga bahwa penegakkan  khilafah adalah kewajiban yang mesti ditunaikan. Ini menjadi agenda  prioritas kaum muslimin dimasa sekarang.
Namun yang kita lihat sekarang, jangankan sebuah kesadaran,  perkara-perkara yang seharusnya ditunaikan sehari-hari semisal sholat,  puasa atau yang menyangkut aqidah semisal syirik, khurafat dan lain  sebagainya masih menjangkit sebagian besar umat Islam. Nilai-nilai  jahiliyah masih demikian kental, sebaliknya pemahaman akan Islam dan  moral umat  kian hari kian bukannya bertambah baik tapi malah bertambah  parah.
Sudah waktunya untuk segera berbenah diri dan berusaha menata kembali  umat ini dan mengembalikan mereka pada jalur yang benar. Sebagaimana  substansi dari hijrah adalah berpindah dari tatanan jahiliyah dan  kezaliman menuju tatanan Islam.Dan paling tidak usaha  itu adalah  refleksi dari semangat untuk berhijrah dari kejahiliyahan dan kezaliman  menuju kehidupan Islami. Ini bukan pekerjaan mudah, dibutuhkan energi,  waktu yang panjang dan pengorbanan yang tidak sedikit untuk  melaksanakannya. Tentu saja amal besar ini harus dimulai diri  masing-masing pribadi. Dengan semangat hijrah, kita akan selalu berusaha  menata diri dan “berpindah” dari kondisi yang sebelumnya buruk (baca:  tidak selaras dengan nilai Islam) menuju yang lebih baik dan Islami.  Sebagaimana hijrah juga mengandung makna bathin yang bisa kita baca dari  sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
أفضل الهجرة أن تهجر ما كره ربّك عزّ و جلّ
Artinya: “Sebaik-baik hijrah adalah meninggalkan hal-hal yang dibenci Rabb-mu Azza wa Jalla.”   (HR. Ahmad, Silsilah as-Shahihah no. 553)
 ((المؤمن من أمنه النّاس على أموالهم و أنفسهم ، و المهاجر من هجر الخطايا و الذّنوب)).
                Artinya: “dikatakan mukmin jika manusia merasa aman akan harta dan jiwa mereka dari gangguannya, dan seorang muhajir adalah yang berhijrah dari kesalahan dan dosa-dosa.”   ( HR. Ibnu Majah no. 3178)
Maka memulai dari diri sendiri adalah langkah awal mewujudkan usaha yang lebih besar.
Semangat hijrah di Tahun Baru Hijriyah
Suatu ketika Umar bin Khattab memanggil dewan permusyawaratan untuk  membicarakan perihal sistem penanggalan bagi umat Islam.Ali bin Abi  Thalib mengusulkan untuk memuali penanggalan sejak peristiwa hijrah  menuju Madinah. Usul tersebut diterima dan Umar kemudian mendekritkan  berlakunya sistem penanggalan Islam dengan nama “Tahun Hijriyah”.
Dipilihnya moment hijrah sebagai awal penanggalan Islam merupakan  keputusan tepat, mengingat betapa hijrah adalah momentum yang sarat  dengan nilai dan merupakan simbol dari awal kebangkitan Islam menuju  kedaulatan. Dari sini, seakan-akan para sahabat agung tersebut ingin  menegaskan pada generasi setelahnya untuk senantiasa membangun spirit  hijrah, berpindah dari ketertindasan menuju umat yang berdaulat dengan  tatanan masyarakat berdasarkan Islam.
Dilain sisi, hijrah juga telah mengentaskan umat dari budaya jahiliyah menuju makarimal akhlaq.  Jika sebelumnya umat Islam terpasung oleh struktur budaya feodal,  otoritarian dan  permissif (serba boleh), maka setelah hijrah hak-hak  mereka aman dalam jaminan syariat Islam. Hal inilah yang seharusnya kita  transformasikan di hari ini menjadi satu upaya pengentasan umat dari  budaya jahiliyah, kemiskinan ilmu dan pemahaman tentang Islam yang  benar  sebagaimana dipahami para sahabat dan Tabi’in (salaful ummah).
Disamping itu, peristiwa ikha’ (dipersaudarakannya kaum  muhajirin dengan Anshar) yang terjadi stetlah muhajirin sampai di  Madinah juga sebagai tanda bahwa ukhuwah (solidaritas) Islamiyah adalah  satu aspek yang harus ada dalam membangun tatanan masyarakat Islam. Dan  hasilnya bisa kita lihat, umat Islam disaat itu begitu solid, selain  dukungan sistem yang kuat,  jalinan ukhuwah ini seakan menjadi sistem  saraf, jika satu titik tersakiti, maka seluruh badan akan memberikan  respon. Eratnya jalinan ini menjadi satu kekuatan yang menggentarkan  musuh-musuh Islam. Dengan begitu, umat ini tidak mudah diinjak-injak,  dan ditindas musuh-musuhnya sebagaimana yang kita alami hari ini. Umat  telah kehilangan segalanya dan kondisinya benar-benar memprihatinkan.  Kejahilan dan kejahiliyahan yang menjangkit menjadikan mereka kehilangan  solidaritas Islam dan semakin jauh meninggalkan agamanya.
Maka di tahun baru Hijriyah ini, hendaknya kita bangkitkan dan  aktualisasikan kembali spirit juga nilai-nilai yang terkandung dalam  Hijrah. Semangat berpindah dari kejahilan dan kejahiliyahan, semangat  untuk menjalin kembali solidaritas juga semangat merubah diri dan  tatanan masyarakat kepada kehidupan yang lebih baik.
Dan perlu kita ingat, Tahun Baru Hijriyah bukanlah hari raya yang  patut dirayakan layaknya Iedul Fitri dan Iedul Adha karena tidak ada  aturan syar’i yang memerintahkan kita merayakannya. Tapi penghayatan  nilai dan hikmah hijrahlah yang selayaknya menjadi bahan renungan untuk  bisa diupayakan, bukan perayaan seremonial yang tak berlandaskan aturan  syar’i sama sekali. Wallahua’lam.


0 Comments :
Posting Komentar