Menakar Kadar Keiltizaman Kita

Iltizam (komitmen,loyalitas) kepada al-haq, Al-Qur’an dan As-Sunnah serta jama’ah dakwah wal jihad merupakan konsekuensi logis dari pelaksanaan iqamatuddien di muka bumi ini. Tidak bisa tidak, proses iqamatuddien yang panjang dan penuh pengorbanan ini menghajatkan rijal (pemuda-pemuda) yang memiliki quwwah (kekuatan) di setiap sisinya ; kekuatan iman dan aqidah, kekuatan fisik dan persenjataan, kekuatan kesatuan dan ikatan, kekuatan tadrib dan i’dad juga kekuatan perencanaan dan pengorganisasian, dimana rijal dengan pribadi kuat seperti tersebut diatas hanya bisa dilahirkan oleh sebuah iltizam.
Sebuah generasi besar pernah lahir dari rahim dakwah dien ini dalam kurun waktu yang terhitung sangat pendek untuk pembentukan sebuah generasi. Keseriusan dan kesungguhan mereka, komitmen (iltizam) mereka terhadap dien ini tidak pernah ada tandingannya. Tidak juga ditemukan sepanjang sejarah pada generasi setelah mereka. Sebuah perbedaan yang sangat jauh. Merekalah generasi shahabat radhiallohu ‘anhum. Lantas, dimana akar masalahnya?
Permasalahan ini sangat urgen untuk kita kaji dan renungkan realitanya, karena abnaul ummah (putera-putera ummat) ini yang menjadi pelaku sejarahlah yang akan mengantarkan dien ini pada kemenangan dan keberhasilannya dengan idzin Allah SWT. Ummat ini tidak akan menang, unggul dan berprestasi melainkan dengan apa-apa dan cara yang sama yang telah menjadikan ummat (generasi pertama) memperoleh kemenangannya.

Di Antara Sebabnya
Sesuatu yang kita pandang sebagai masalah pastilah ada penyebabnya. Tidak ada yang dapat menyingkap kabut fitnahnya melainkan orang-orang yang mukhlis dalam dien ini. Merekalah yang dikehendaki oleh Allah untuk menjadi penerang di tengah kegelapan yang tengah menyelimuti dunia Islam. Adalah Sayyid Quthb rahimahullah, kesyahidannya membuka mata umat Islam, analisa dan pemikirannya tetap hidup bahkan sampai hari ini, yang akan mengurai benang kusut dalam pikiran kita mengenai jurang perbedaan antara kita dengan para shahabat radhiallahu ‘anhum. Di antara sebabnya adalah :
Pertama, sumber rujukan generasi pertama itu adalah Al-Qur’an semata, sedangkan Al-Hadits sebagai penjelasnya. Tidak ada peradaban, budaya, ilmu pengetahuan, kepercayaan-kepercayaan lain yang dijadikan rujukan selama masa pembentukan mereka. Sterilisasi inilah yang menghasilkan generasi yang bersih hatinya, akalnya, gambaran hidupnya, dan jiwanya dari segala pengaruh lain, selain manhaj Illahi yang dikandung Al-Qur’anul Karim. Sebaliknya, percampuran sumber yang utama dengan sumber-sumber lain inilah yang menjadi titik tolak perbedaan yang sangat jauh antara kita dengan mereka.
Kedua, perbedaan dalam menerima dakwah. Mereka menerima perintah Allah SWT untuk segera diamalkan setelah mendengarnya. Perasaan untuk menerima perintah dan mengerjakannya inilah yang membuat Al-Qur’an membukakan bagi mereka pintu gerbang kenikmatan dan ilmu pengetahuan. Manhaj inilah yang membedakan, dimana generasi-generasi berikutnya mempelajari Al-Qur’an semata untuk mengkaji dan menikmatinya.
Ketiga, adanya pemutusan emosional secara total antara masa lalu kejahiliyaan seorang muslim dan masa kini keislamannya. Jadi, seseorang, pada masa generasi pertama, jika ia masuk Islam, ia akan melepaskan seluruh kejahiliyaan masa lalunya (tradisinya, pola pandangnya, kebiasaannya, ikatan-ikatannya). Sementara generasi setelahnya, terlalu mudah mengatasnamakan toleransi terhadap semua yang ada di sekelilingnya.
Dengan mengetahui sebab-sebab perbedaan ini, kita bisa memulainya dari pribadi kita untuk berubah, dan kemudian mengubah masyarakat kita termasuk didalamnya membenahi pola dan strategi pembinaan di dalam jama’ah yang kita beramal didalamnya. Sehingga, kepayahan dan kelelahan kita tidak sia-sia dan berbuah kemenangan sebagaimana generasi pertama Islam telah memetiknya, semata karena berjalan di atas manhaj Illahi. Allah SWT berfirman :
Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu “. (QS. Muhammad (47) : 7).

Iltizam kepada Jama’ah

Berjama’ah merupakan satu keharusan dan fardhu syar’i yang telah rajih dan kuat dasar hukumnya.
Berdasarkan nash Al-Qur’anul Karim ;
“Dan berpeganglah kalian semua pada tali Allah dan janganlah kalian bercerai-berai...”. (QS.Ali Imran (3) : 103).
“Dan hendaklah ada diantara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (QS.Ali Imran (3) : 104).
Berdasarkan nash As-Sunnah ;
“...wajib atas kalian berjama’ah, karena sesungguhnya syetan itu bersama orang yang sendirian, dan dia terhadap dua orang itu lebih jauh. Dan barangsiapa ingin memperoleh kenikmatan jannah, maka hendaklah ia beriltizam kepada jama’ah”.
Dari Hudzaifah ra, ia menanyakan kepada Rasulullah SAW tentang kebaikan dan keburukan....dan akhirnya Hudzaifah bertanya,”Apakah setelah masa kebaikan itu ada keburukan?”. Rasulullah SAW menjawab,”Ya benar, ada penyeru-penyeru di pintu neraka, siapa yang menyambut seruannya akan mereka lemparkan ke dalamnya”. Lalu Hudzaifah bertanya lagi,”Wahai Rasulullah, sebutkan ciri-ciri mereka kepada kami”. Beliau menjawab,”Mereka itu satu kulit dengan kita dan berbicara dengan bahasa kita”. Hudzaifah kembali bertanya,”Apa yang engkau perintahkan padaku jika aku mendapati masa itu ?”. Beliau menjawab,”Engkau beriltizam kepada jama’atul muslimin dan imam mereka”. (HR. Bukhari).
Berdasarkan qaidah syar’i yang mengatakan bahwa sesuatu yang wajib itu tidak terlaksana kecuali dengannya, maka ia menjadi wajib hukumnya.
Sungguh saat ini kita telah berada di zaman yang menjadi kekhawatiran shahabat Hudzaifah, dan kitapun telah melalui masa-masa cobaan karena ketidakteraturan dan ketidakfokusan gerakan kaum muslimin dalam menghadapi musuh-musuhnya, serta begitu banyaknya taklif dalam dien ini yang bersifat jama’iyyah, maka kebutuhan dan iltizam (komitmen) kita terhadap sebuah qiyadah jama’iyyah yang terorganisir dengan rapi menjadi sangat besar.
Salah satu masalah yang perlu mendapat perhatian khusus dari setiap multazim adalahmasalah disiplin dan ketaatan kepada qiyadah, yaitu memberikan loyalitas kepada qiyadah, melaksanakan perintah-perintahnya, komitmen dengan setiap kebijakan yang datang darinya tanpa disertai keraguan atau bersikap lamban dan bermalas-malasan dan tidak terbujuk oleh berbagai macam godaan dan kepentingan. Inilah yang disebut sebagai makna iltizam, loyalitas (kesetiaan) dan keikhlasan.
Tanpa kedisiplinan dan ketaatan maka suatu jama’ah akan berjalan tanpa aturan dan tidak akan bisa menjaga eksistensinya di tengah-tengah umat dan tidak akan meraih tujuannya. Maka untuk mewujudkan hal tersebut, Islam mewajibkan kaum muslimin untuk taat kepada amir (pemimpin) dan menetapinya, meskipun yang menjadi pemimpin mereka adalah seorang budak Habasyi. Rasulullah SAW bersabda :
“Mendengarlah kalian dan taatlah, meskipun yang diangkat sebagai pemimpin kalian adalah seorang budak Habasyah yang kepalanya bagaikan kismis”. (HR. Bukhari).
Bahkan menurut pandangan syar’i, ketaatan kepada amir berarti taat kepada Rasulullah SAW. Hal ini disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan Muslim :
“Barangsiapa taat kepadaku berarti dia taat kepada Allah, dan barangsiapa mendurhakaiku berarti dia mendurhakai Allah.Dan barangsiapa taat kepada amirku, berarti dia telah taat kepadaku dan barangsiapa mendurhakai amirku berarti dia telah durhaka padaku”. (HR. Muslim).
Dalam pandangan Islam, ketaatan tidak hanya sebatas pada sesuatu yang disukai, diingini dan disenangi saja. Sesungguhnya ketaatan itu meliputi ketaatan dalam keadaan suka maupun benci, dalam keadaan sempit ataupun lapang, dengan rela maupun terpaksa. Yang demikian itu disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ubadah bin Shamit ra dia berkata :
“Kami berbai’at kepada Rasulullah untuk mendengar dan taat dalam keadaan sempit maupun lapang, dalam keadaan senang maupun benci dan untuk mengutamakan beliau atas diri kami dan untuk tidak menyelisihi urusan kepemimpinan dari ahlinya kecuali jika terlihat kekafiran yang nyata, maka itu menjadi bukti di hadapan Allah, dan untuk mengatakan yang benar dimanapun kami berada, dan untuk tidak takut dalam menjalankan perintah Allah terhadap celaan orang yang mencela”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Ketaatan yang dikehendaki dalam dien ini juga bukanlah ketaatan buta yang dilandasi kebodohan dan fanatisme serta kemaksiatan kepada Allah dan Rasul-Nya, akan tetapi ketaatan yang benar disertai dengan kesadaran hati yang berlandaskan pada prinsip-prinsip syari’at, akal sehat serta maslahat dakwah dan Islam. Rasulullah SAW bersabda :
“Seorang muslim wajib mendengar dan taat (pada pemimpin) dalam apa yang disukai maupun yang dibenci sepanjang tidak diperintah untuk berbuat maksiat. Apabila diperintah untuk berbuat maksiat, maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat atasnya”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Jika ketaatan terhadap perintah dan keputusan amir dalam masalah-masalah yang telah jelas hukumnya sudah mafhum hukumnya, demikian pula dalam masalah-masalah ijtihadiyah (ada perbedaan pendapat di kalangan ulama) harus tetap mendahulukan dan mengikuti keputusan yang telah ditetapkan oleh amir. Yang demikian ini hikmahnya bahwa persatuan lebih diutamakan daripada memenangkan kecenderungan pribadi atas masalah furu’iyyah . Sebagaimana dijelaskan dalam Syarah Aqidah Thahawiyah :
“Dan telah jelas dalam nash kitab, hadits dan ijma’ para salaful ummah bahwa para pemimpin, imam sholat, komandan perang dan amil zakat (utusan resmi dari negara) harus ditaati dalam masalah ijtihadiyah. Mereka tidak diharuskan taat kepada pengikutnya dalam masalah ijtihaddiyah, tapi para pengikutnya yang harus mentaati mereka dan meninggalkan pendapatnya untuk mengikuti pendapat mereka, karena mendahulukan nasehat kebersamaan dan menghindari mafsadah perpecahan lebih penting dan urgen daripada mendahulukan perkara furu’iyyah”.
Demikianlah, mengokohkan keiltizaman kita merupakan sebuah upaya besar untuk membangun kekuatan Islam dan memenangkan Islam di setiap lini kehidupan.Al-Islaamu Ya’luu walaa yu’laa ‘alaihi, Islam itu tinggi dan tak ada yang dapat menyaingi ketinggiannya. Wallahu a’lam bish-showab.

About Al Inshof

Al Inshof adalah blog yang memberikan kejernihan dalam menimbang hidup. Islam adalah agama tengah tengah. Tidak berlebih lebihan namun juga tidak menyepelekan.

0 Comments :

Posting Komentar